Ekonomi Makro: TELAAH JURNAL INTERNASIONAL 2

| Minggu, 18 Januari 2015


Fiscal Decentralization in Indonesia:
A New Approach to an Old Idea

A.       PENDAHULUAN
Sejarah desentralisasi sektor publik di negara-negara berkembang terutama kisah kinerja yang mengecewakan atau kegagalan langsung. Dengan cerita tentang luas dan program desentralisasi fiskal yang mahal telah membuat kemajuan yang hanya terbatas dalam memenuhi dan menyatakan tujuan mereka. Alasan utama untuk keadaan ini adalah bahwa upaya reformasi cenderung fokus pada hasil yang diinginkan, bukan dari pada proses.
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tandatanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Dalam telaah jurnal ini, kita memeriksa kasus Indonesia, analisis alasan utama untuk lambatnya kemajuan sampai saat ini, diuraikan proses strategis untuk melanjutkan debat produktif tentang desentralisasi dan pada akhirnya desentralisasi itu sendiri. Proses ini diusulkan, yang baru-baru ini diadopsi secara eksperimental di Indonesia dan sepenuhnya didanai oleh pemerintah, didasarkan pada sistem lokal evaluasi pemerintah yang memiliki empat fitur menonjol.
Pertama, proses strategis melibatkan semua aksi pemerintah sebagai kunci pusat yang bersaing satu sama lain untuk pengembangan sumber daya lokal dan daya yang terancam oleh pemerintah lokal yang lebih kuat. Kedua, proses membedakan antara pemerintah lokal dan tugas-tugas fungsional, sehingga desentralisasi yang dapat didefinisikan dan diimplementasikan dalam bertahap dan cara selektif yang memaksimalkan kemungkinan berhasil. Ketiga, proses menciptakan beberapa insentif untuk perilaku yang sesuai baik di tingkat pusat maupun daerah  pemerintah. Terakhir dan yang paling penting adalah proses menyediakan mekanisme bagi pemerintah untuk  mengembangkan agenda sendiri untuk desentralisasi, lebih  independen dari tujuan internasional yang prioritas cenderung untuk mendorong mahal namun naas upaya desentralisasi. Dalam telaah jurnal ini penulis tidak hanya mengacu pada jurnal “Fiscal Decentralization in Indonesia: A New Approach to an Old Idea”, tetapi juga pada sumber atau referensi lainnya.

B.          KONSEP DAN TEORI
Menurut Rondinelli (1981) dalam Mills (1994), desentralisasi dapat didefinisikan sebagai transfer wewenang atau kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen, dan pembuatan keputusan dari level nasional ke level sub nasional atau secara umum dari level yang tinggi ke level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Desentralisasi juga meliputi perubahan hubungan kekuasaan dan distribusi tindakan diantara level pemerintahan (Mills 1994).
Rondinelli dan Cheema (dalam Sarundajang, 1999) memberikan pengertian desentralisasi sebagai bentuk pengalihan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi teknis di daerah, unit administrasi daerah dan pemerintah daerah. Konsep desentralisasi akan terfokus pada mekanisme pengaturan hubungan kekuasaan dan kewenangan dalam struktur pemerintahan. Sedangkan konsep otonomi daerah akan terfokus pada hak dan kewajiban daerah – pemerintah daerah dan masyarakat – dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan (Hidayat, 2004).
Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi karena desentralisasi berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya (Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai (Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi.
Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt, 2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith, 2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004).

C.          DATA EMPIRIK
Sejarah Upaya Desentralisasi
Indonesia adalah negara kesatuan, sehingga pemerintah daerah dan provinsi merupakan pembentukan pemerintah pusat. Selama ini sebagian besar dari masa kolonial, sektor administrasinya sangat terpusat , meskipun kota lebih otonom daripada saat ini. Kehadiran sistem terpusat administrasi lapangan berfungsi di beberapa daerah negara awal abad 20. Berikut sejarah desentralisasi di Indonesia dalam jurnal Fiscal Decentralization in Indonesia: A New Approach to an Old Idea”:
(a)    Upaya dini desentralisasi
Sejumlah upaya telah dilakukan dalam sejarah pasca kemerdekaan Indonesia untuk membentuk lembaga perwakilan desentralisasi dan untuk meningkatkan tingkat otonomi daerah, tapi politik pertimbangan sering teralihkan. Upaya ini membangun kesatuan negara - sebuah etnis koleksi beragam dan geografis dari lebih dari 14.000 pulau yang dicaplok dalam jangka panjang waktu dan dalam berbagai sukarela dan tidak sukarela pengaturan - selalu menjadi perhatian utama dari pemimpin nasional , dan ini cenderung membuat pemimpin Indonesia mencurigakan desentralisasi asli. Meskipun tidak mungkin bahwa pemerintah memiliki niat serius untuk mendesentralisasikan pada saat itu, undang-undang itu meningkatkan kesadaran akan potensi manfaat desentralisasi dan memberikan dasar hukum yang jelas untuk tindakan lebih lanjut di masa mendatang.
(b)   Upaya desentralisasi terbaru
Niat resmi pemerintah untuk desentralisasi, yang menyatakan pengembangan dan pengoperasian berbagai layanan perkotaan berada di bawah wewenang pemerintah yang terdesentralisasi dan konkret mengidentifikasi sejumlah mereka terkait tanggung jawab. Berbagai inisiatif desentralisasi telah dilakukan oleh berbagai kementerian. Yang paling menonjol adalah Program Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Terpadu (IUIDP), yang diluncurkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1985. Tujuan utama IUIDP adalah untuk menggeser penekanan secara bertahap jauh dari pengiriman tunggal, infrastruktur sektor tertentu proyek untuk manajemen dan organisasi terpadu dari proses pembangunan perkotaan secara keseluruhan.
Inisiatif lain desentralisasi utama adalah Tim Koordinasi Perkotaan Pengembangan (TKPP), yang didirikan pada tahun 1987 berdasarkan Surat Keputusan Bersama Negara Menteri Bappenas dan Menteri Keuangan , Negeri dan Pekerjaan Umum untuk mengkoordinasikan perumusan terpadu peraturan pembangunan perkotaan. Selain itu, fasilitas pinjaman yang dikenal sebagai Rekening Pembangunan Daerah ( RDA ) mulai beroperasi di Departemen Keuangan di 1988,  RDA adalah mandat penggunaan teknik penilaian yang formal untuk mengevaluasi proyek, standarisasi bunga suku bunga pinjaman itu menyalurkan, menegakkan pembayaran ketat pinjaman, dan mengkonsolidasikan sumber utama pinjaman pembiayaan bagi pembangunan perkotaan dan regional.
Berbagai upaya terkait lainnya untuk mereformasi desentralisasi keuangan pemerintah telah direncanakan atau dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah upaya yang komprehensif untuk mereformasi sistem transfer fiskal pusat-daerah dimulai pada tahun 1988 dan 1989. Yang diusulkan sistem akan konsolidasi beberapa program hibah yang ada dan revisi formula alokasi untuk memperhitungkan lebih baik dari kedua kebutuhan dan kapasitas sumber daya. Program reformasi tertentu ini terbukti kontroversial dan tidak diadopsi, tapi perdebatan seputar itu meningkatkan kesadaran tentang isu-isu reformasi hibahmdan mempersiapkan jalan bagi upaya lainnya
(c)    Faktor-faktor yang mendasari desentralisasi baru-baru ini
Secara kolektif, faktor-faktor yang menunjukkan bahwa upaya desentralisasi pemerintah ini serius, tapi mereka tidak dilihat memiliki minat desentralisasi politik yang signifikan. Sebaliknya, pemerintah pusat telah menyadari bahwa hal itu tidak dapat secara efektif menyediakan dan membiayai seluruh jasa masyarakat di suatu negara sehingga secara fisik, geografis dan etnis heterogen. Selain itu, tampaknya ada pengakuan yang muncul di antara politisi senior dan birokrat yang lebih fiskal. Pemerintah daerah yang efektif tidak perlu menimbulkan substansial dan ancaman langsung kepada pemerintah pusat. Sebaliknya, langkah-langkah terbatas untuk memperkuat pemerintah daerah bisa dilihat sebagai tindakan tegas untuk memperbaiki masalah pelayanan yang berkembang bahwa banyak mempengaruhi kualitas hidup di bagian negara. Jika efektif, upaya tersebut bisa menggambarkan secara positif pada pemerintah pada saat Indonesia mulai mempertanyakan legitimasinya untuk lebih terbuka.


D.          PEMBAHASAN
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement; 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya. Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi: Pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah.








E.          KESIMPULAN
Upaya reformasi pemerintah Indonesia dan lokal telah diganggu oleh lingkungan kelembagaan yang kompleks di mana kementerian bersaing untuk kekuasaan dan pemberian dana; pemerintah daerah telah sering diperlakukan seolah-olah mereka entitas homogen; sering terhambat karena meremehkan, melayani diri sendiri, ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah daerah; dan jarang memberikan insentif yang signifikan untuk perilaku tepat oleh pemerintah daerah. Hambatan utama dalam banyak kasus memiliki fragmentasi tanggung jawab di tingkat pusat dan ketidakmampuan atau ketidakmauan dari pusat pemerintah untuk meningkatkan koordinasi. Upaya mencegah Ini sudah sering untuk mengambil langkah awal bahkan sederhana menuju desentralisasi.
Untuk menuju desentralisasi sering kali terjadi masalah dalam bentuk koordinasi antar kementerian komite, yang biasanya gagal karena lembaga terkemuka ini dipandang sebagai memajukan kepentingan mereka sendiri daripada mencari kerja sama antar kementerian terkait. Mengingat kendala umum untuk desentralisasi, pengalaman Indonesia dengan tingkat pemerintah daerah menunjukkan beberapa pelajaran dan keprihatinan, potensi penting bagi negara-negara lain berjuang dengan sulit memulai dan merancang program desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004. Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro dan mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah.













Comments
0 Comments

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲