LAPORAN PENELITIAN KONDISI PSIKOLOGI ANAK JALANAN DI WILAYAH SEMARANG KHUSUSNYA DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN

| Minggu, 19 Januari 2014
LAPORAN PENELITIAN
KONDISI PSIKOLOGI ANAK JALANAN
DI WILAYAH SEMARANG KHUSUSNYA DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan kasihNya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah penulis terima, serta petunjukNya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan bagi penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini yang berjudul “Kondisi Psikologi Anak Jalanan di Wilayah Semarang khususnya di Simpang Lima dan Sampangan” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan. Tak lupa shalawat berserta salam juga semoga terkembang kepada junjunan nabi besar Muhammad SAW. 
Laporan hasil penelitian  ini dapat terwujud berkat kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ibu Edwindha Prafitra Nugraheni selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikologi Pendidikan.
2.      Komunitas Satoe Atap Semarang yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian terkait anak jalanan.
3.      Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Sungguhpun tinggi keinginan penulis untuk selalu menyuguhkan yang terbaik. Namun karena penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan tanggapan, masukan, kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan hasil penelitian yang penulis susun. Semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Semarang, 28 November 2013

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   LATAR BELAKANG
Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan ciri serta sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin serta mereka perlu dilindungi dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Anak-anak Indonesia memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung, sebab ada anak-anak yang terpaksa mengisi aktivitas hidupnya dijalanan, dan menjadikan jalan sebagai tempat untuk hidup bahkan untuk mencari kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anak-anak jalanan ini dalam kehidupannya sehari-hari harus bekerja membantu orang tua mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarga. Anak-anak seperti ini dapat dilihat dijalanan sebagai pengemis, pengamen, penjual rokok, penjual koran, ojek payung, tukang semir sepatu, tukang parkir, kernet (kondektur) bus antar kota maupun aktivitas lain yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak dengan alasan apapun.
Fenomena masalah anak jalanan merupakan isu global yang telah mencapai titik mengkhawatirkan. Situasi anak jalan di Indonesia cukup memprihatinkan  karena sampai saat ini masalah-masalah anak khususnya pada anak-anak yang berada di jalanan belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Jumlah anak yang tinggal di jalanan terus menerus meningkat dan pemerintah pun tidak mempunyai data anak yang tinggal di jalanan.Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihahan hidup yang diinginkan oleh siapapun. melainkan  keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu.
Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung  berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan ketidakberdayaan mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka juga merupakan generasi penerus bangsa untuk masa mendatang. Masalah itulah yang mendorong penulis untuk menyusun laporan penelitian ini.

1.2.   RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1)      Apa definisi dari anak jalanan?
2)      Apa saja faktor yang mempengaruhi munculnya anak jalanan?
3)      Bagaimana kondisi anak jalanan di wilayah Semarang?
4)      Bagaimana keterkaitan kondisi anak jalanan kawasan Simpang Lima dan Sampangan - Semarang dengan psikologi perkembangan anak pada umumnya?
5)      Bagaimana solusi mengatasi keberadaan anak jalanan?

1.3.   METODE
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode untuk mengumpulkan data sebagai berikut:
1.3.1    Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi, 2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya, sementara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari definisi itu, kita juga dapat mengetahui bahwa tanya jawab dilakukan secara sistematis, telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan. Metode wawancara ini dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan anak jalanan selaku narasumber yang terkait kehidupan mereka.
1.3.2.  Observasi
Melalui observasi peneliti dapat memperoleh pandangan-pandangan mengenai apa sebenarnya kehidupan yang dijalani anak jalanan, melihat langsung keterkaitan anak jalanan diantara komponen-komponen dalam psikologi perkembangan anak pada umumnya.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   DEFINISI ANAK JALANAN.
Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan psikis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.  Umumnya mereka berasal dari keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Menurut kak Seto (Komnas Anak) Lebih dari 70% anak di Jakarta berada dalam kondisi mencemaskan dan rawan menjadi anak jalanan, selebihnya 30% adalah anak rumahan yang tinggal dengan orang dewasa, dan setiap saat terkadang menerima tekanan dari orang tua/orang dewasa yang tinggal bersamanya. Kondisi kemiskinan sangat mempengaruhi pertumbuhan (kehidupan) anak, dan karenanya sewaktu-waktu hak anak bisa terlanggar. Kejahatan trafficking bisa saja menimpa anak jalanan, karena mereka hidup jauh dari lingkungan keluarganya dari orang dewasa / orang tuanya yang seharusnya melindungi dia. Di dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan dan membentuk kepribadian mereka.
Berdasarkan data BPS tahun 2009 tercatat sebanyak 7,4 juta anak terlantar,230.000 anak jalanan, 5.952 anak yang berhadapan dengan hukum, dan ribuan anak lainnya sampai saat ini masih belum terpenuhi hak-hak dasarnya. Situasi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Berdasarkan hasil kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.eds : 1997) :
1.      Children on the street
Yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
2.      Children of the street
Yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalankan, baik secara social maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan atau lari dari rumah.
3.      Children from family of the street
Yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya (Blanc & Associate, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996). Salah satu cirri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai walau secara kwantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Sebenarnya  anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak becus mengurus rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.

2.2.   FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUNCULNYA ANAK JALANAN.
Anak adalah sebagai generasi penerus pewaris cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Anak mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi yaitu: Hak kebutuhan untuk makan dengan zat-zat yang bergizi, kesehatan, bermain, kebutuhan emosional, pengembangan moral, spiritual, pendidikan serta memerlukan lingkungan keluarga dan sosial yang mendukung kelangsungan hidupnya.
Krisis ekonomi, adalah sebagai pemicu utama terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hak-hak anaknya. Berkaitan dengan itu jumlah anak putus sekolah, terlantar dan marginal  semakin bertambah, selain itu akibat yang ditimbulkan terpaksa banyak anak-anak yang harus membantu orang tuanya, karena kemiskinan.
Di sisi lain tidak sedikit anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, diakibatkan karena situasi perkotaan yang begitu dinamis dan tidak memberi ruang bagi masyarakat marginal, hal ini terlihat mudahnya terjadi penggusuran serta terjadinya konflik yang tak dapat dielakkan. Konflik yang dapat dilihat seperti perkelahian antar kelompok, dengan menggunakan senjata tajam bisa terjadi kapan saja, dan tidak sedikit pula anak terlibat di dalamnya. Pemerintah kota dengan melakukan penggusuran atas nama keindahan dan ketertiban umum yang tidak pernah selesai: menggusur paksa, penggrebekan, penggarukan, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi tertentu bagi kehidupan perkotaan. Modernisasi, Industrialisasi, migran dan urbanisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang.
Mereka pun memilih jalanan dan tempat–tempat umum lainnya  sebagai alternatif pelarian untuk mencari  kerja, karena mereka menganggap dijalan banyak rezeki yang bisa didapat sesuai dengan tingkat kompetisi yang ada, artinya mereka menyadari tingkat pendidikan yang pernah mereka jalani. mereka hanya mengenyam pendidikan rata-rata SLTP ke bawah putus sekolah akhirnya menjadilah mereka anak pekerja. Faktor lain yang menyebabkan anak-anak turun ke jalan dikarenakan adanya konflik yang terjadi pada rumah tangganya, mereka bosan dengan keadaan yang terjadi di rumah. Peraturan serba ketat tanpa memberi peluang kepada anak mengutarakan keinginannya, tidak jarang sering  terjadi tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai mana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, untuk itu sebagai alternatif dalam mengurangi meningkatnya anak terlantar perlu pemberian modal usaha dan penciptaan lapangan kerja dari pemerintah  yang merupakan tugas pokok dinas sosial sebagaimana yang dikembangkan oleh pemerintah kota tentang kesejahteraan anak dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Karena mereka terlanjur hidup dan mencari nafkah di jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya maka mereka dikenal dengan istilah anak jalanan.

2.3.   KONDISI ANAK JALANAN DI WILAYAH SEMARANG.
Keberadaan anak jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat itu hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian berkembang menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo, Simpang Lima, Karang Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan menjadi 20 kawasan (PSW Undip, 1998). Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan PKPM Atmajaya pada tahun 1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar luas menjadi 208 titik.
Perkembangan lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS pada tahun 1996 memperkirakan jumlah anak jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700 anak. Pada masa krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara 1,500-2,000 (lihat Tabloid Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan Depsos-PKPM Atmajaya, 1999)
Berdasarkan daerah asal, telah terjadi pergeseran yang perlu dicermati. Pada tahun 1994, prosentase anak yang berasal dari luar kota masih lebih besar, yaitu 53%. Pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan anak jalanan dari dalam kota semakin besar dan menjadi dominan. Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal yaitu; bangunan kosong, los pasar, emperan toko, taman atau lapangan, gerbong, pos jaga, halte dan bus rusak.

2.4.   KETERKAITAN KONDISI ANAK JALANAN DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN – SEMARANG DENGAN PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK PADA UMUMNYA.
Untuk mengetahui keterkaitan psikologi perkembangan anak jalanan di Semarang, penulis melakukan observasi serta wawancara di kawasan simpang lima dan Sampangan.
Pertama, di kawasan simpang lima. Untuk melakukan observasi dan wawancara di lokasi ini penulis sempat bergabung dengan komunitas Satoe Atap, yaitu suatu komunitas yang memberikan pengajaran secara sukarela kepada para anak jalanan di kawasan simpang lima. Bersama komunitas Satoe Atap tersebut penulis juga ikut melakukan pengajaran dan sekaligus melakukan observasi terhadap anak jalanan. Disana penulis melakukan wawancara terhadap salah satu anak jalanan yang bernama Navis. Navis ini berumur 14 tahun dan merupakan seorang anak jalanan yang masih mengenyam bangku pendidikan di salah satu SMP swasta di Semarang yang tidak ia sebutkan namanya.
Navis juga masih memiliki kedua orang tua yang kedua-duanya bekerja. Namun yang melatarbelakangi ia menjadi anak jalanan adalah kenyamanan untuk berkumpul dengan teman-teman di simpang lima, karena menurutnya di dekat rumahnya ia tidak memiliki teman sebaya, sehingga menjadi anak jalanan baginya adalah tempat bermain. Dari percakapan penulis dengan Navis, bahwa penulis merasa perkembangan kognitif dan perkembangan verbal Navis sudah baik seperti anak-anak pada umumnya.
Kedua, di kawasan Sampangan. Penulis melakukan observasi dan wawancara di bahu jalan dekat dengan lampu lalu lintas perempatan Sampangan. Disana penulis menemui beberapa anak jalanan yang bernama Rama, Dika, Nando dan Yuda. Dari sana penulis mewawancarai empat anak jalanan tersebut. Dari wawancara yang dilakukan, bahwa Rama, Dika dan Nando adalah kakak adik bersaudara tidak kandung. Rama adalah yang tertua di sana dan ia berumur 14 tahun, Rama pernah mengenyam bangku pendidikan sampai kelas 1 SMP dan putus sekolah karena masalah biaya. Rama sudah menjadi anak jalanan di kawasan sampangan sejak ia berumur 7 tahun (kelas 1 SD).
Selanjutnya yaitu Dika dan Nando, kedua anak ini seumuran yaitu 12 tahun, mereka sudah tidak bersekolah semenjak kelas 3 SD karena mereka cenderung malas untuk bersekolah dan kurangnya motivasi dari orang tuanya untuk bersekolah. Yang terakhir adalah Yuda yang berumur 13 tahun dan masih bersekolah kelas 1 SMP, di sini Yuda memiliki kedua orang tua yang sama-sama bekerja, ia menjadi anak jalanan karena sering membolos sekolah hanya untuk mencari teman bermain, tetapi hal ini ditentang oleh orang tuanya jika mengetahui bahwa Yuda membolos sekolah dan menjadi anak jalanan. Ke-empat anak jalanan di sampangan ini menjadi pengamen di Sampangan yang uangnya untuk jajan dan makan mereka sehari-hari (Kecuali Yuda), sehingga rumah bagi mereka hanyalah tempat untuk tidur.
Penulis mendeskripsikan anak jalanan dari kedua tempat yang ada, bahwa anak jalanan memiliki karakteristik perkembangan yang sama dan terbagi dua yaitu:

a.              Ciri fisik
ü  Warna kulit kusam
ü  Rambut kemerahan
ü  Kebanyakan berbadan kurus
ü  Pakaian tidak terurus





b.              Ciri psikis
ü  Mobilitas tinggi
ü  Acuh tak acuh
ü  Penuh curiga
ü  Sangat sensitif berwatak keras                    
ü  Kreatif
ü  Semangat hidup tinggi
ü  Berani tanggung resiko
ü  Mandiri


2.5.   SOLUSI MENGATASI KEBERADAAN ANAK JALANAN.
Pertama, pemerintah harus memikirkan tempat tinggal yang layak bagi anak jalanan. Rumah singgah misalnya, di mana mereka merasa aman dan mendapatkan perlindungan. Program Orang Tua Asuh dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan. Hal ini penting, karena berbicara anak jalanan berarti berbicara di mana mereka tinggal untuk mendapatkan perlindungan, baik dari faktor alam maupun dari faktor orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan.
Kedua, adanya sekolah berbiaya murah dan gratis niscaya membuat anak yang beraktivitas di jalanan akan berkurang. Anak-anak tidak perlu memikirkan bagaimana mencari uang sekolah. Melunasi uang buku, membayar uang ujian, uang hari guru, uang perpisahan, dan segala macam jenis uang lainnya yang sangat membebani ekonomi keluarga.
Ketiga, membuat kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan partisipasi anak secara rutin. Hal ini dimaksudkan untuk mengisi waktu luang anak sehingga tidak mudah untuk terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti beraktivitas di jalanan untuk mencari uang.
Selain ketiga solusi diatas juga tak kalah penting yaitu solusi untuk memberdayakan anak jalanan. Pemberdayaan mengandung pengertian bagaimana mendorong dan memotivasi daya atau potensi yang ada pada manusia, serta bagaimana membangkitkan kesadaran akan sumber daya itu menjadi berdaya atau mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau segala sesuatu dan dilakukan dengan bertanggung jawab serta dapat menunjang kehidupannya. Pemberdayaan menurut Ginanjar Kartasasmita (1997) dapat dilihat melalui beberapa sisi yakni :
1)      Bagaimana menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi yang ada dikembangkan. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia mempunyai potensi yang dapat dikembangkan.
2)      Bagaimana memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Penguatan ini menyangkut langkah nyata untuk menyediakan berbagai masukan dan membuka akses ke dalam berbagai peluang untuk menjadi berdaya. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat dalam hal ini anak jalanan adalah bagaimana memberikan motivasi dan kesempatan kepada setiap anggota anak jalanan untuk dapat melakukan aktivitas produktif sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks pemberdayaan itu peran piranti pendidikan makin perlu digalakkan untuk tercapainya tujuan pembelajaran yakni sikap mandiri, agar anak-anak jalanan dapat menapaki masa depan yang lebih cerah dan maju. Ada berbagai upaya dalam pemberdayaan anak jalanan. Upaya pemberdayaan anak jalanan dapat berbentuk melalui program-program seperti ;
1)      Street Based
Pendekatan dijalanan untuk menjangkau dan mendampingi anak jalanan agar mengenal, mempertahankan relasi dan komunikasi serta melakukan penanganan dijalan seperti konseling, diskusi, permainan literacy dan pemberian informasi. Orientasi Street based diarahkan pada upaya menangkal pengaruh-pengaruh negatif jalanan dan membekali anak jalanan dengan nilai-nilai dan wawasan positif. Seperti Mobil Sahabat Anak.
2)      Centre based
Pendekatan yang memposisikan anak jalan sebagai penerima pelayanan di suatu center atau pusat kegiatan dan tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu. Selama berada dicenter ia akan memperoleh pelayanan sampai mencapai tujuan yang dikehendaki. Seperti Boarding house atau panti.
3)      Family and Community based
Pendekatan yang melibatkan keluarga dan masyarakat yang bertujuan mencegah anak-anak turun kejalanan dan mendorong penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak. Family dan Community based mengarah pada upaya membangkitkan kesadaran dan tanggungjawab dan partisipasi anggota keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah anak jalanan.
4)      Bantuan untuk Anak Jalanan
Berikut adalah contoh bantuan nyata yang bisa diberikan untuk anak jalanan, misalnya : (1) Bantuan Pendidikan. Anak-anak jalanan perlu diberi bantuan pendidikan berupa bimbingan belajar, pemberian kesempatan mereka untuk sekolah lagi melalui beasiswa, orangtua asuh, penyelenggaraan program pendidikan non formal (pembentukan kelompok-kelompok belajar) di lingkungan anak jalanan anak karena banyak anak jalanan yang telah melewati batas usia sekolah. Dana yang ada dapat dikonversi menjadi Beasiswa ataupun apa namanya karena walaupun pemerintah telah membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri. Karena pungutan lain disekolah-sekoalh negeri tetap ada bahkan lebih mahal dari SPP yang telah dihapuskan mengatas namakan Uang Seragam, uang buku, uang kegiatan ini yang telah disepakati dengan segelintir orang tua murid yang menamakan diri komite sekolah dan lain-lainnya.
(2) Bantuan Penyediaan Lapangan Pekerjaan. Langkah penyediaan lapangan pekerjaan bagi orang tua anak maupun anak-anak yang telah cukup umur merupakan salah satu jalan keluar yang diharapkan dapat meminimalisasi jumlah anak jalanan karena mereka akan lebih disibukan dengan pekerjaan yang baru. Disamping itu, jalanan mungkin akan sepi dari anak-anak jalanan karena orang tua mereka telah mulai bekerja.
(3) Program lain yang bisa digunakan dalam memberdayakan anak jalanan adalah program Magang yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, minat dan potensi anak-anak jalanan, program magang yang akan dilaksanakan harus dikhususkan pada upaya memberdayakan potensi yang ada pada anak jalanan serta dalam rangka pembentukan sikap dan mental anak jalanan agar mampu dan mau mencari mata pencaharian lain yang lebih prospektif untuk menunjang kehidupannya dan tidak kembali kejalanan dan bila mungkin dapat membantu teman-teman anak jalanan lainya.


BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk di dalamnya anak jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan khususnya anak yang diwarnai dengan upaya pendalaman di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, budaya yang mampu meningkatkan kreativitas keimanan, intelektualitas, disiplin, etos kerja dan keterampilan kerja.
Di sisi lain stabilitas nasional adalah gambaran tentang keadaan yang mantap, stabil dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan ditanganinya dengan baik  masalah anak jalanan akan memperkuat sendi-sendi kesejahteraan sosial serta stabilitas nasional kita di masa yang akan datang.
Anak jalanan butuh pendidikan dan bantuan agar saat mereka dewasa nanti tidak terjerumus ke arah yang negatif. Banyak faktor yang menyebabkan anak turun ke jalan, faktor yang paling mendasar adalah masalah ekonomi dan juga kekerasan di keluarga. Rumah singgah adalah salah satu bantuan yang sangat membantu kehidupan anak jalanan. Rumah singgah bisa menjadi tempat berlindung dan juga bisa mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak jalanan.
Peran serta masyarakat sangat penting bagi penanganan masalah anak jalanan ini, karena masyarakat yang mempunyai andil besar mulai dari lingkungan keluarga sampai kepada masyarakat umum.

3.2  SARAN
Sebaiknya pemerintah harus terus konsisten untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak jalanan agar mereka tidak kembali lagi hidup di jalanan dan juga bisa memperbaiki kehidupan mereka kedepannya. Pembuatan sekolah murah dan program orang tua asuh juga harus terus digalakkan untuk memperkecil angka anak jalanan. Orang tua juga sebisa mungkin memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada anak mereka agar anak mereka menjadi betah di rumah dan tidak turun ke jalan.


DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, A. dan Anni, C.T. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: UNNES Press
http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/01/04/anak-jalanan-studi-kasus-atas-persoalan-sosial/
http://andinsekar.wordpress.com/2010/05/10/makalah-pengaruh-kemiskinan-terhadap-perkembangan-anak/
http://tiana-simanjuntak.blogspot.com/2011/08/makalah-isbd-perilaku-sosial-anak.html
http://zainalunib.blogspot.com/2012/03/makalah-anak-jalanan.html
http://kumpulanmakalah-kedokteran-psikologi.blogspot.com/2013/06/makalah-pemberdayaan-anak-jalanan.html
Comments
0 Comments

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲