LAPORAN PENELITIAN
KONDISI PSIKOLOGI ANAK JALANAN
DI WILAYAH SEMARANG KHUSUSNYA DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN
DI WILAYAH SEMARANG KHUSUSNYA DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah
penulis terima, serta petunjuk‐Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan bagi
penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini yang berjudul “Kondisi Psikologi Anak Jalanan di Wilayah
Semarang khususnya di Simpang Lima dan Sampangan” yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan. Tak lupa shalawat berserta
salam juga semoga terkembang kepada junjunan nabi besar Muhammad SAW.
Laporan hasil penelitian ini dapat terwujud
berkat kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan
ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Edwindha Prafitra Nugraheni selaku dosen
pembimbing mata kuliah Psikologi Pendidikan.
2. Komunitas Satoe Atap Semarang yang telah memberikan
ijin untuk melaksanakan penelitian terkait anak jalanan.
3. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
Sungguhpun tinggi keinginan penulis untuk selalu
menyuguhkan yang terbaik. Namun karena penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan tanggapan, masukan, kritik serta saran dari pembaca demi
kesempurnaan laporan hasil penelitian yang penulis susun. Semoga laporan hasil
penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Semarang, 28 November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Anak
adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis
dan ciri serta sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan. Oleh karena itu potensi anak perlu dikembangkan
semaksimal mungkin serta mereka perlu dilindungi dari berbagai tindak kekerasan
dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan kemampuannya, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.
Anak-anak
Indonesia memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung, sebab ada
anak-anak yang terpaksa mengisi aktivitas hidupnya dijalanan, dan menjadikan
jalan sebagai tempat untuk hidup bahkan untuk mencari kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Anak-anak jalanan ini dalam kehidupannya sehari-hari harus bekerja
membantu orang tua mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dirinya
maupun keluarga. Anak-anak seperti ini dapat dilihat dijalanan sebagai
pengemis, pengamen, penjual rokok, penjual koran, ojek payung, tukang semir
sepatu, tukang parkir, kernet (kondektur) bus antar kota maupun aktivitas lain
yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak dengan alasan apapun.
Fenomena
masalah anak jalanan merupakan isu global yang telah mencapai titik mengkhawatirkan.
Situasi anak jalan di Indonesia cukup memprihatinkan karena sampai saat ini masalah-masalah anak
khususnya pada anak-anak yang berada di jalanan belum mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah. Jumlah anak yang tinggal di jalanan terus menerus
meningkat dan pemerintah pun tidak mempunyai data anak yang tinggal di
jalanan.Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihahan hidup yang diinginkan
oleh siapapun. melainkan keterpaksaan
yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu.
Anak
jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua.
Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum
mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama
mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan
pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek
sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan
penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar
masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar,
anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada
taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan
ketidakberdayaan mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian
introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat
dipungkiri bahwa mereka juga merupakan generasi penerus bangsa untuk masa
mendatang. Masalah itulah yang mendorong penulis untuk menyusun laporan
penelitian ini.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut:
1) Apa
definisi dari anak jalanan?
2) Apa
saja faktor yang mempengaruhi munculnya anak jalanan?
3) Bagaimana
kondisi anak jalanan di wilayah Semarang?
4) Bagaimana
keterkaitan kondisi anak jalanan kawasan Simpang Lima dan Sampangan - Semarang
dengan psikologi perkembangan anak pada umumnya?
5) Bagaimana
solusi mengatasi keberadaan anak jalanan?
1.3.
METODE
Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode untuk mengumpulkan data sebagai berikut:
1.3.1
Wawancara
Wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara
sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi,
2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya,
sementara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari
definisi itu, kita juga dapat mengetahui bahwa tanya jawab dilakukan secara sistematis,
telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan. Metode
wawancara ini dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan anak
jalanan selaku narasumber yang terkait kehidupan mereka.
1.3.2.
Observasi
Melalui observasi peneliti dapat
memperoleh pandangan-pandangan mengenai apa sebenarnya kehidupan yang dijalani
anak jalanan, melihat langsung keterkaitan anak jalanan diantara
komponen-komponen dalam psikologi perkembangan anak pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
DEFINISI
ANAK JALANAN.
Anak
jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan psikis) yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang
terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya. Umumnya mereka berasal dari keluarga yang
ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan
jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang,
sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Menurut
kak Seto (Komnas Anak) Lebih dari 70% anak di Jakarta berada dalam kondisi
mencemaskan dan rawan menjadi anak jalanan, selebihnya 30% adalah anak rumahan
yang tinggal dengan orang dewasa, dan setiap saat terkadang menerima tekanan
dari orang tua/orang dewasa yang tinggal bersamanya. Kondisi kemiskinan sangat
mempengaruhi pertumbuhan (kehidupan) anak, dan karenanya sewaktu-waktu hak anak
bisa terlanggar. Kejahatan trafficking bisa saja menimpa anak jalanan, karena
mereka hidup jauh dari lingkungan keluarganya dari orang dewasa / orang tuanya
yang seharusnya melindungi dia. Di dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara
terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat
dalam diri anak jalanan dan membentuk kepribadian mereka.
Berdasarkan
data BPS tahun 2009 tercatat sebanyak 7,4 juta anak terlantar,230.000 anak
jalanan, 5.952 anak yang berhadapan dengan hukum, dan ribuan anak lainnya
sampai saat ini masih belum terpenuhi hak-hak dasarnya. Situasi tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak berada dalam kondisi yang tidak
menguntungkan.
Berdasarkan
hasil kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga
kelompok (Surbakti dkk.eds : 1997) :
1.
Children
on the street
Yakni
anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan,
tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian
penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu
memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan
yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang
tuanya.
2.
Children
of the street
Yakni
anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalankan, baik secara social maupun
ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya,
tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah
anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan atau lari dari rumah.
3.
Children
from family of the street
Yakni
anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan. Meski anak-anak ini
mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya
(Blanc & Associate, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996). Salah
satu cirri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak
masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan
mudah ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel
kereta api dan pinggiran sungai walau secara kwantitatif jumlahnya belum
diketahui secara pasti.
Ketika
mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku
kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan
anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari
konflik keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi pemerintah
yang tidak becus mengurus rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak
jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong
pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap
anak jalanan.
2.2.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI MUNCULNYA ANAK JALANAN.
Anak
adalah sebagai generasi penerus pewaris cita-cita perjuangan bangsa dan
merupakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Anak mempunyai
hak dan kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi yaitu: Hak kebutuhan untuk makan
dengan zat-zat yang bergizi, kesehatan, bermain, kebutuhan emosional,
pengembangan moral, spiritual, pendidikan serta memerlukan lingkungan keluarga
dan sosial yang mendukung kelangsungan hidupnya.
Krisis
ekonomi, adalah sebagai pemicu utama terjadinya berbagai bencana yang telah
menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami penurunan daya beli,
pemutusan hubungan kerja sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hak-hak
anaknya. Berkaitan dengan itu jumlah anak putus sekolah, terlantar dan
marginal semakin bertambah, selain itu
akibat yang ditimbulkan terpaksa banyak anak-anak yang harus membantu orang
tuanya, karena kemiskinan.
Di
sisi lain tidak sedikit anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, diakibatkan karena situasi
perkotaan yang begitu dinamis dan tidak memberi ruang bagi masyarakat marginal,
hal ini terlihat mudahnya terjadi penggusuran serta terjadinya konflik yang tak
dapat dielakkan. Konflik yang dapat dilihat seperti perkelahian antar kelompok,
dengan menggunakan senjata tajam bisa terjadi kapan saja, dan tidak sedikit
pula anak terlibat di dalamnya. Pemerintah kota dengan melakukan penggusuran
atas nama keindahan dan ketertiban umum yang tidak pernah selesai: menggusur
paksa, penggrebekan, penggarukan, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi
tertentu bagi kehidupan perkotaan. Modernisasi, Industrialisasi, migran dan
urbanisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan
gaya hidup membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang.
Mereka
pun memilih jalanan dan tempat–tempat umum lainnya sebagai alternatif pelarian untuk
mencari kerja, karena mereka menganggap
dijalan banyak rezeki yang bisa didapat sesuai dengan tingkat kompetisi yang
ada, artinya mereka menyadari tingkat pendidikan yang pernah mereka jalani.
mereka hanya mengenyam pendidikan rata-rata SLTP ke bawah putus sekolah
akhirnya menjadilah mereka anak pekerja. Faktor lain yang menyebabkan anak-anak
turun ke jalan dikarenakan adanya konflik yang terjadi pada rumah tangganya,
mereka bosan dengan keadaan yang terjadi di rumah. Peraturan serba ketat tanpa
memberi peluang kepada anak mengutarakan keinginannya, tidak jarang sering terjadi tindak kekerasan terhadap anak dalam
rumah tangga sebagai mana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, untuk itu
sebagai alternatif dalam mengurangi meningkatnya anak terlantar perlu pemberian
modal usaha dan penciptaan lapangan kerja dari pemerintah yang merupakan tugas pokok dinas sosial
sebagaimana yang dikembangkan oleh pemerintah kota tentang kesejahteraan anak
dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik jasmani,
rohani maupun sosialnya. Karena mereka terlanjur hidup dan mencari nafkah di
jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya maka mereka dikenal dengan istilah
anak jalanan.
2.3.
KONDISI
ANAK JALANAN DI WILAYAH SEMARANG.
Keberadaan
anak jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat
itu hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian
berkembang menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo,
Simpang Lima, Karang Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis
ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan menjadi 20 kawasan (PSW Undip, 1998).
Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan PKPM Atmajaya pada tahun
1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar luas menjadi
208 titik.
Perkembangan
lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan
yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS pada tahun 1996 memperkirakan jumlah
anak jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700
anak. Pada masa krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara
1,500-2,000 (lihat Tabloid Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan
Depsos-PKPM Atmajaya, 1999)
Berdasarkan
daerah asal, telah terjadi pergeseran yang perlu dicermati. Pada tahun 1994,
prosentase anak yang berasal dari luar kota masih lebih besar, yaitu 53%. Pada
tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan anak jalanan dari dalam kota semakin besar
dan menjadi dominan. Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal yaitu;
bangunan kosong, los pasar, emperan toko, taman atau lapangan, gerbong, pos
jaga, halte dan bus rusak.
2.4.
KETERKAITAN
KONDISI ANAK JALANAN DI KAWASAN SIMPANG LIMA DAN SAMPANGAN – SEMARANG DENGAN
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK PADA UMUMNYA.
Untuk
mengetahui keterkaitan psikologi perkembangan anak jalanan di Semarang, penulis
melakukan observasi serta wawancara di kawasan simpang lima dan Sampangan.
Pertama,
di kawasan simpang lima. Untuk melakukan observasi dan wawancara di lokasi ini
penulis sempat bergabung dengan komunitas Satoe Atap, yaitu suatu komunitas
yang memberikan pengajaran secara sukarela kepada para anak jalanan di kawasan
simpang lima. Bersama komunitas Satoe Atap tersebut penulis juga ikut melakukan
pengajaran dan sekaligus melakukan observasi terhadap anak jalanan. Disana
penulis melakukan wawancara terhadap salah satu anak jalanan yang bernama
Navis. Navis ini berumur 14 tahun dan merupakan seorang anak jalanan yang masih
mengenyam bangku pendidikan di salah satu SMP swasta di Semarang yang tidak ia
sebutkan namanya.
Navis
juga masih memiliki kedua orang tua yang kedua-duanya bekerja. Namun yang
melatarbelakangi ia menjadi anak jalanan adalah kenyamanan untuk berkumpul
dengan teman-teman di simpang lima, karena menurutnya di dekat rumahnya ia
tidak memiliki teman sebaya, sehingga menjadi anak jalanan baginya adalah
tempat bermain. Dari percakapan penulis dengan Navis, bahwa penulis merasa
perkembangan kognitif dan perkembangan verbal Navis sudah baik seperti
anak-anak pada umumnya.
Kedua,
di kawasan Sampangan. Penulis melakukan observasi dan wawancara di bahu jalan
dekat dengan lampu lalu lintas perempatan Sampangan. Disana penulis menemui
beberapa anak jalanan yang bernama Rama, Dika, Nando dan Yuda. Dari sana
penulis mewawancarai empat anak jalanan tersebut. Dari wawancara yang
dilakukan, bahwa Rama, Dika dan Nando adalah kakak adik bersaudara tidak
kandung. Rama adalah yang tertua di sana dan ia berumur 14 tahun, Rama pernah
mengenyam bangku pendidikan sampai kelas 1 SMP dan putus sekolah karena masalah
biaya. Rama sudah menjadi anak jalanan di kawasan sampangan sejak ia berumur 7
tahun (kelas 1 SD).
Selanjutnya
yaitu Dika dan Nando, kedua anak ini seumuran yaitu 12 tahun, mereka sudah
tidak bersekolah semenjak kelas 3 SD karena mereka cenderung malas untuk
bersekolah dan kurangnya motivasi dari orang tuanya untuk bersekolah. Yang
terakhir adalah Yuda yang berumur 13 tahun dan masih bersekolah kelas 1 SMP, di
sini Yuda memiliki kedua orang tua yang sama-sama bekerja, ia menjadi anak
jalanan karena sering membolos sekolah hanya untuk mencari teman bermain,
tetapi hal ini ditentang oleh orang tuanya jika mengetahui bahwa Yuda membolos
sekolah dan menjadi anak jalanan. Ke-empat anak jalanan di sampangan ini
menjadi pengamen di Sampangan yang uangnya untuk jajan dan makan mereka sehari-hari
(Kecuali Yuda), sehingga rumah bagi mereka hanyalah tempat untuk tidur.
Penulis
mendeskripsikan anak jalanan dari kedua tempat yang ada, bahwa anak jalanan
memiliki karakteristik perkembangan yang sama dan terbagi dua yaitu:
a.
Ciri fisik
ü Warna
kulit kusam
ü Rambut
kemerahan
ü Kebanyakan
berbadan kurus
ü Pakaian
tidak terurus
b.
Ciri psikis
ü Mobilitas
tinggi
ü Acuh
tak acuh
ü Penuh
curiga
ü Sangat
sensitif berwatak keras
ü Kreatif
ü Semangat
hidup tinggi
ü Berani
tanggung resiko
ü Mandiri
2.5.
SOLUSI
MENGATASI KEBERADAAN ANAK JALANAN.
Pertama,
pemerintah harus memikirkan tempat tinggal yang layak bagi anak jalanan. Rumah
singgah misalnya, di mana mereka merasa aman dan mendapatkan perlindungan.
Program Orang Tua Asuh dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah anak
jalanan. Hal ini penting, karena berbicara anak jalanan berarti berbicara di
mana mereka tinggal untuk mendapatkan perlindungan, baik dari faktor alam
maupun dari faktor orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan.
Kedua,
adanya sekolah berbiaya murah dan gratis niscaya membuat anak yang beraktivitas
di jalanan akan berkurang. Anak-anak tidak perlu memikirkan bagaimana mencari
uang sekolah. Melunasi uang buku, membayar uang ujian, uang hari guru, uang
perpisahan, dan segala macam jenis uang lainnya yang sangat membebani ekonomi
keluarga.
Ketiga,
membuat kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan partisipasi anak secara rutin.
Hal ini dimaksudkan untuk mengisi waktu luang anak sehingga tidak mudah untuk
terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti beraktivitas di
jalanan untuk mencari uang.
Selain
ketiga solusi diatas juga tak kalah penting yaitu solusi untuk memberdayakan
anak jalanan. Pemberdayaan mengandung pengertian bagaimana mendorong dan
memotivasi daya atau potensi yang ada pada manusia, serta bagaimana membangkitkan
kesadaran akan sumber daya itu menjadi berdaya atau mempunyai daya/kemampuan
untuk menjangkau segala sesuatu dan dilakukan dengan bertanggung jawab serta
dapat menunjang kehidupannya. Pemberdayaan menurut Ginanjar Kartasasmita (1997)
dapat dilihat melalui beberapa sisi yakni :
1) Bagaimana
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi yang ada dikembangkan.
Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia mempunyai potensi
yang dapat dikembangkan.
2) Bagaimana
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Penguatan ini
menyangkut langkah nyata untuk menyediakan berbagai masukan dan membuka akses
ke dalam berbagai peluang untuk menjadi berdaya. Hal ini berarti bahwa
pemberdayaan masyarakat dalam hal ini anak jalanan adalah bagaimana memberikan
motivasi dan kesempatan kepada setiap anggota anak jalanan untuk dapat
melakukan aktivitas produktif sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam
konteks pemberdayaan itu peran piranti pendidikan makin perlu digalakkan untuk
tercapainya tujuan pembelajaran yakni sikap mandiri, agar anak-anak jalanan
dapat menapaki masa depan yang lebih cerah dan maju. Ada berbagai upaya dalam
pemberdayaan anak jalanan. Upaya pemberdayaan anak jalanan dapat berbentuk melalui
program-program seperti ;
1)
Street
Based
Pendekatan dijalanan untuk menjangkau
dan mendampingi anak jalanan agar mengenal, mempertahankan relasi dan
komunikasi serta melakukan penanganan dijalan seperti konseling, diskusi,
permainan literacy dan pemberian informasi. Orientasi Street based diarahkan
pada upaya menangkal pengaruh-pengaruh negatif jalanan dan membekali anak
jalanan dengan nilai-nilai dan wawasan positif. Seperti Mobil Sahabat Anak.
2)
Centre
based
Pendekatan yang memposisikan anak jalan
sebagai penerima pelayanan di suatu center atau pusat kegiatan dan tempat
tinggal dalam jangka waktu tertentu. Selama berada dicenter ia akan memperoleh
pelayanan sampai mencapai tujuan yang dikehendaki. Seperti Boarding house atau
panti.
3)
Family
and Community based
Pendekatan yang melibatkan keluarga dan
masyarakat yang bertujuan mencegah anak-anak turun kejalanan dan mendorong
penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak. Family dan Community based mengarah
pada upaya membangkitkan kesadaran dan tanggungjawab dan partisipasi anggota
keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah anak jalanan.
4)
Bantuan untuk Anak Jalanan
Berikut adalah contoh bantuan nyata yang
bisa diberikan untuk anak jalanan, misalnya : (1) Bantuan Pendidikan. Anak-anak
jalanan perlu diberi bantuan pendidikan berupa bimbingan belajar, pemberian
kesempatan mereka untuk sekolah lagi melalui beasiswa, orangtua asuh,
penyelenggaraan program pendidikan non formal (pembentukan kelompok-kelompok
belajar) di lingkungan anak jalanan anak karena banyak anak jalanan yang telah
melewati batas usia sekolah. Dana yang ada dapat dikonversi menjadi Beasiswa
ataupun apa namanya karena walaupun pemerintah telah membebaskan uang SPP untuk
sekolah negeri. Karena pungutan lain disekolah-sekoalh negeri tetap ada bahkan
lebih mahal dari SPP yang telah dihapuskan mengatas namakan Uang Seragam, uang
buku, uang kegiatan ini yang telah disepakati dengan segelintir orang tua murid
yang menamakan diri komite sekolah dan lain-lainnya.
(2) Bantuan Penyediaan Lapangan Pekerjaan.
Langkah penyediaan lapangan pekerjaan bagi orang tua anak maupun anak-anak yang
telah cukup umur merupakan salah satu jalan keluar yang diharapkan dapat
meminimalisasi jumlah anak jalanan karena mereka akan lebih disibukan dengan
pekerjaan yang baru. Disamping itu, jalanan mungkin akan sepi dari anak-anak
jalanan karena orang tua mereka telah mulai bekerja.
(3) Program lain yang bisa digunakan dalam
memberdayakan anak jalanan adalah program Magang yang sesuai dengan kebutuhan,
kondisi, minat dan potensi anak-anak jalanan, program magang yang akan
dilaksanakan harus dikhususkan pada upaya memberdayakan potensi yang ada pada
anak jalanan serta dalam rangka pembentukan sikap dan mental anak jalanan agar
mampu dan mau mencari mata pencaharian lain yang lebih prospektif untuk
menunjang kehidupannya dan tidak kembali kejalanan dan bila mungkin dapat
membantu teman-teman anak jalanan lainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Upaya
pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk di dalamnya
anak jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya dan khususnya anak yang diwarnai dengan upaya
pendalaman di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, budaya yang mampu
meningkatkan kreativitas keimanan, intelektualitas, disiplin, etos kerja dan
keterampilan kerja.
Di
sisi lain stabilitas nasional adalah gambaran tentang keadaan yang mantap,
stabil dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan ditanganinya dengan baik masalah
anak jalanan akan memperkuat sendi-sendi kesejahteraan sosial serta stabilitas
nasional kita di masa yang akan datang.
Anak
jalanan butuh pendidikan dan bantuan agar saat mereka dewasa nanti tidak
terjerumus ke arah yang negatif. Banyak faktor yang menyebabkan anak turun ke
jalan, faktor yang paling mendasar adalah masalah ekonomi dan juga kekerasan di
keluarga. Rumah singgah adalah salah satu bantuan yang sangat membantu
kehidupan anak jalanan. Rumah singgah bisa menjadi tempat berlindung dan juga
bisa mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak jalanan.
Peran
serta masyarakat sangat penting bagi penanganan masalah anak jalanan ini,
karena masyarakat yang mempunyai andil besar mulai dari lingkungan keluarga
sampai kepada masyarakat umum.
3.2 SARAN
Sebaiknya
pemerintah harus terus konsisten untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak
jalanan agar mereka tidak kembali lagi hidup di jalanan dan juga bisa
memperbaiki kehidupan mereka kedepannya. Pembuatan sekolah murah dan program
orang tua asuh juga harus terus digalakkan untuk memperkecil angka anak
jalanan. Orang tua juga sebisa mungkin memberikan kasih sayang dan perhatian
yang cukup kepada anak mereka agar anak mereka menjadi betah di rumah dan tidak
turun ke jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i,
A. dan Anni, C.T. 2012. Psikologi
Pendidikan. Semarang: UNNES Press
http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/01/04/anak-jalanan-studi-kasus-atas-persoalan-sosial/
http://andinsekar.wordpress.com/2010/05/10/makalah-pengaruh-kemiskinan-terhadap-perkembangan-anak/
http://tiana-simanjuntak.blogspot.com/2011/08/makalah-isbd-perilaku-sosial-anak.html
http://zainalunib.blogspot.com/2012/03/makalah-anak-jalanan.html
http://kumpulanmakalah-kedokteran-psikologi.blogspot.com/2013/06/makalah-pemberdayaan-anak-jalanan.html