“Fiscal Decentralization in Indonesia:
A New Approach to an Old Idea”
A New Approach to an Old Idea”
A. PENDAHULUAN
Sejarah desentralisasi sektor publik di negara-negara berkembang terutama
kisah kinerja yang mengecewakan atau kegagalan langsung. Dengan cerita tentang
luas dan program desentralisasi fiskal yang mahal telah membuat kemajuan yang
hanya terbatas dalam memenuhi dan menyatakan tujuan mereka. Alasan utama untuk
keadaan ini adalah bahwa upaya reformasi cenderung fokus pada hasil yang
diinginkan, bukan dari pada proses.
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dorongan
desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman
suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan
ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tandatanda adanya
disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons terhadap banyaknya kegagalan
yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat
yang efektif.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Dalam telaah jurnal ini, kita memeriksa kasus Indonesia, analisis
alasan utama untuk lambatnya kemajuan sampai saat ini, diuraikan proses strategis
untuk melanjutkan debat produktif tentang desentralisasi dan pada akhirnya
desentralisasi itu sendiri. Proses ini diusulkan, yang baru-baru ini diadopsi
secara eksperimental di Indonesia dan sepenuhnya didanai oleh pemerintah,
didasarkan pada sistem lokal evaluasi pemerintah yang memiliki empat fitur
menonjol.
Pertama, proses strategis melibatkan semua aksi pemerintah sebagai kunci pusat
yang bersaing satu sama lain untuk pengembangan sumber daya lokal dan daya yang
terancam oleh pemerintah lokal yang lebih kuat. Kedua, proses membedakan antara
pemerintah lokal dan tugas-tugas fungsional, sehingga desentralisasi yang dapat
didefinisikan dan diimplementasikan dalam bertahap dan cara selektif yang
memaksimalkan kemungkinan berhasil. Ketiga, proses menciptakan beberapa
insentif untuk perilaku yang sesuai baik di tingkat pusat maupun daerah pemerintah. Terakhir dan yang paling penting
adalah proses menyediakan mekanisme bagi pemerintah untuk mengembangkan agenda sendiri untuk desentralisasi,
lebih independen dari tujuan
internasional yang prioritas cenderung untuk mendorong mahal namun naas upaya
desentralisasi. Dalam telaah jurnal ini penulis tidak hanya mengacu pada jurnal
“Fiscal
Decentralization in Indonesia: A New Approach to an Old Idea”, tetapi juga pada sumber atau referensi lainnya.
B.
KONSEP DAN TEORI
Menurut Rondinelli (1981) dalam
Mills (1994), desentralisasi dapat didefinisikan sebagai transfer wewenang atau
kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen, dan pembuatan keputusan dari
level nasional ke level sub nasional atau secara umum dari level yang tinggi ke
level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Desentralisasi juga meliputi
perubahan hubungan kekuasaan dan distribusi tindakan diantara level pemerintahan
(Mills 1994).
Rondinelli dan Cheema (dalam
Sarundajang, 1999) memberikan pengertian desentralisasi sebagai bentuk pengalihan
perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari
pemerintah pusat kepada organisasi teknis di daerah, unit administrasi daerah
dan pemerintah daerah. Konsep desentralisasi akan terfokus pada mekanisme pengaturan
hubungan kekuasaan dan kewenangan dalam struktur pemerintahan. Sedangkan konsep
otonomi daerah akan terfokus pada hak dan kewajiban daerah – pemerintah daerah
dan masyarakat – dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
(Hidayat, 2004).
Desentralisasi fiskal,
merupakan komponen utama dari desentralisasi karena desentralisasi berkaitan langsung
dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik antara tingkatan
pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya (Muluk, 2006). Apabila
pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam
pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan
sumber-sumber keuangan yang memadai (Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi
fiskal dapat meloloskan suatu negara dari berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan
pemerintahan, ketidak-stabilan makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan
ekonomi.
Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan
untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan
peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt, 2000), serta berbagi beban
keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith, 2004). Kebijakan desentralisasi
fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan
daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang
terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stoker,
1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004).
C.
DATA EMPIRIK
Sejarah Upaya Desentralisasi
Indonesia
adalah negara kesatuan, sehingga pemerintah daerah dan provinsi merupakan
pembentukan pemerintah pusat. Selama ini sebagian besar dari masa kolonial,
sektor administrasinya sangat terpusat , meskipun kota lebih otonom daripada
saat ini. Kehadiran sistem terpusat administrasi lapangan berfungsi di beberapa
daerah negara awal abad 20. Berikut sejarah desentralisasi di Indonesia dalam
jurnal “Fiscal
Decentralization in Indonesia: A New Approach to an Old Idea”:
(a) Upaya
dini desentralisasi
Sejumlah upaya telah dilakukan dalam sejarah pasca kemerdekaan
Indonesia untuk membentuk lembaga perwakilan desentralisasi dan untuk meningkatkan
tingkat otonomi daerah, tapi politik pertimbangan sering teralihkan. Upaya ini
membangun kesatuan negara - sebuah etnis koleksi beragam dan geografis dari lebih
dari 14.000 pulau yang dicaplok dalam jangka panjang waktu dan dalam berbagai
sukarela dan tidak sukarela pengaturan - selalu menjadi perhatian utama dari pemimpin
nasional , dan ini cenderung membuat pemimpin Indonesia mencurigakan
desentralisasi asli. Meskipun tidak mungkin bahwa pemerintah memiliki niat
serius untuk mendesentralisasikan pada saat itu, undang-undang itu meningkatkan
kesadaran akan potensi manfaat desentralisasi dan memberikan dasar hukum yang
jelas untuk tindakan lebih lanjut di masa mendatang.
(b) Upaya
desentralisasi terbaru
Niat resmi pemerintah untuk desentralisasi, yang
menyatakan pengembangan dan pengoperasian berbagai layanan perkotaan berada di
bawah wewenang pemerintah yang terdesentralisasi dan konkret mengidentifikasi
sejumlah mereka terkait tanggung jawab. Berbagai inisiatif desentralisasi telah
dilakukan oleh berbagai kementerian. Yang paling menonjol adalah Program
Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Terpadu (IUIDP), yang diluncurkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum pada tahun 1985. Tujuan utama IUIDP adalah untuk menggeser
penekanan secara bertahap jauh dari pengiriman tunggal, infrastruktur sektor
tertentu proyek untuk manajemen dan organisasi terpadu dari proses pembangunan
perkotaan secara keseluruhan.
Inisiatif lain desentralisasi utama adalah Tim
Koordinasi Perkotaan Pengembangan (TKPP), yang didirikan pada tahun 1987
berdasarkan Surat Keputusan Bersama Negara Menteri Bappenas dan Menteri
Keuangan , Negeri dan Pekerjaan Umum untuk mengkoordinasikan perumusan terpadu peraturan
pembangunan perkotaan. Selain itu, fasilitas pinjaman yang dikenal sebagai
Rekening Pembangunan Daerah ( RDA ) mulai beroperasi di Departemen Keuangan di
1988, RDA adalah mandat penggunaan
teknik penilaian yang formal untuk mengevaluasi proyek, standarisasi bunga suku
bunga pinjaman itu menyalurkan, menegakkan pembayaran ketat pinjaman, dan
mengkonsolidasikan sumber utama pinjaman pembiayaan bagi pembangunan perkotaan
dan regional.
Berbagai upaya terkait lainnya untuk mereformasi
desentralisasi keuangan pemerintah telah direncanakan atau dilakukan dalam
beberapa tahun terakhir. Sebuah upaya yang komprehensif untuk mereformasi
sistem transfer fiskal pusat-daerah dimulai pada tahun 1988 dan 1989. Yang
diusulkan sistem akan konsolidasi beberapa program hibah yang ada dan revisi
formula alokasi untuk memperhitungkan lebih baik dari kedua kebutuhan dan kapasitas
sumber daya. Program reformasi tertentu ini terbukti kontroversial dan tidak
diadopsi, tapi perdebatan seputar itu meningkatkan kesadaran tentang isu-isu
reformasi hibahmdan mempersiapkan jalan bagi upaya lainnya
(c) Faktor-faktor
yang mendasari desentralisasi baru-baru ini
Secara kolektif, faktor-faktor yang menunjukkan
bahwa upaya desentralisasi pemerintah ini serius, tapi mereka tidak dilihat memiliki
minat desentralisasi politik yang signifikan. Sebaliknya, pemerintah pusat
telah menyadari bahwa hal itu tidak dapat secara efektif menyediakan dan
membiayai seluruh jasa masyarakat di suatu negara sehingga secara fisik,
geografis dan etnis heterogen. Selain itu, tampaknya ada pengakuan yang muncul
di antara politisi senior dan birokrat yang lebih fiskal. Pemerintah daerah yang
efektif tidak perlu menimbulkan substansial dan ancaman langsung kepada
pemerintah pusat. Sebaliknya, langkah-langkah terbatas untuk memperkuat pemerintah
daerah bisa dilihat sebagai tindakan tegas untuk memperbaiki masalah pelayanan
yang berkembang bahwa banyak mempengaruhi kualitas hidup di bagian negara. Jika
efektif, upaya tersebut bisa menggambarkan secara positif pada pemerintah pada
saat Indonesia mulai mempertanyakan legitimasinya untuk lebih terbuka.
D.
PEMBAHASAN
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal
di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi
otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan)
untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani
hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan dan enforcement; 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan
kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi
fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun
lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan
ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak
dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak
dan sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan
Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur
disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan
keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah diberikan kewenangan
untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan
dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan,
agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi
tersebut pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah
sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup
besar. Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya. Kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 Tahun
1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian
bahwa kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan
sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber
pembiayaan Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
meliputi: Pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah.
E.
KESIMPULAN
Upaya reformasi pemerintah Indonesia
dan lokal telah diganggu oleh lingkungan kelembagaan yang kompleks di mana
kementerian bersaing untuk kekuasaan dan pemberian dana; pemerintah daerah
telah sering diperlakukan seolah-olah mereka entitas homogen; sering terhambat karena
meremehkan, melayani diri sendiri, ketidakpercayaan terhadap kemampuan
pemerintah daerah; dan jarang memberikan insentif yang signifikan untuk perilaku
tepat oleh pemerintah daerah. Hambatan utama dalam banyak kasus memiliki fragmentasi
tanggung jawab di tingkat pusat dan ketidakmampuan atau ketidakmauan dari pusat
pemerintah untuk meningkatkan koordinasi. Upaya mencegah Ini sudah sering untuk
mengambil langkah awal bahkan sederhana menuju desentralisasi.
Untuk menuju desentralisasi sering
kali terjadi masalah dalam bentuk koordinasi antar kementerian komite, yang
biasanya gagal karena lembaga terkemuka ini dipandang sebagai memajukan kepentingan
mereka sendiri daripada mencari kerja sama antar kementerian terkait. Mengingat
kendala umum untuk desentralisasi, pengalaman Indonesia dengan tingkat pemerintah
daerah menunjukkan beberapa pelajaran dan keprihatinan, potensi penting bagi
negara-negara lain berjuang dengan sulit memulai dan merancang program
desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang
terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang
(UU) nomor 22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut
disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004. Kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25
Tahun 1999 serta UU-APBN, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks kebijaksanaan
ekonomi makro dan mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil
ketimpangan yang terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah
yang dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah.