MAKALAH "KETAHANAN PANGAN"

| Selasa, 25 Juni 2013





NAMA KELOMPOK :
1.      Riski Amalia                            (7101412007)
2.      Bangkit Candra Birama           (7101412008)
3.      Ziyan Tiffany                          (7101412019)
4.      Niswah Lutfiyani                    (7101412023)
5.      Hendi Apriyanto                     (7101412024)
6.      Ragil Waseza                           (7101412029)



JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mempertahankan keamanan merupakan pra syarat utama bagi semua negara baik negara yang berkembang maupun negara maju agar keamanan dalam negerinya dapat diciptakan serta membantu dalam menjaga keamanan dunia internasional. Semua itu difokuskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan. Tidak hanya untuk pertahanan, tetapi juga untuk menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan pertahanan dan keamanan nasional secara keseluruhan harus dikaitkan dengan pembangunan dalam bidang kesejahteraan sedemikian rupa sehingga merupakan bagian dari pembangunan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak asasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Ketahanan pangan merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional yang berdampak besar pada seluruh warga negara yang ada dalam Indonesia. Pertahanan pangan merupakan salah satu hal yang mendukung dalam mempertahankan keamanan, bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahanan pangan dapat mempunyai pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat diciptakan.
Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian di suatu negara harus tercerminkan oleh kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanan pangan. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi seorang (calon) presiden untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Ketahanan pangan bertambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
Walaupun pada prinsipnya ketahanan pangan tidak harus berarti swasembada pangan; impor yang terjamin juga menentukan ketahanan pangan. Namun demikian, idealnya, ketahanan pangan didukung sepenuhnya oleh kemampuan sendiri dalam memproduksi pangan yang dibutuhkan oleh pasar domestik. Karena risiko terlalu tergantung pada impor adalah apabila harga impor meningkat sehingga mengakibatkan inflasi di dalam negeri atau negara pengekspor menghentikan ekspornya karena alasan politik atau lainnya.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.
Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17 tersebut memberi penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun kata-kata RT belum berarti menjamin setiap individu di dalam RT mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa (Pambudy, 2002a). Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan, di pihak lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah. 
Hingga awal tahun 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia selalu optimis mengenai ketersediaan pangan.  Bahkan waktu itu, FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Prediksi ini didasarkan pada data historis selama dekade 80-an hingga 90-an yang menunjukkan peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Memang, untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun tetapi juga masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Juga FAO memprediksi waktu itu bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu penting, dan  banyak kalangan yakin bahwa dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara, di sisi lain, lahan yang tersedia untuk kegiatan kegiatan pertanian terbatas, atau laju pertumbuhannya semakin kecil, atau bahkan secara absolut cenderung semakin sempit. Pandangan ini persis seperti teori Malthus yang memprediksi suatu saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi/stok.

B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimanankah kondisi ketahahan pangan di Indonesia saat ini?
2)      Apa kaitan ketahanan pangan dengan ketahanan nasional?
3)      Bagaimana dampak lemahnya ketahanan pangan terhadap pertahanan dan keamanan nasional?
4)      Bagaimana upaya kita meningkatkan ketahanan pangan?
5)      Bagaimana langkah-langkah mewujudkan ketahanan pangan?













BAB II
PEMBAHASAN

1.      Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di Indonesia. Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank,1990). Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap impor pangan.
Padahal ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan dampak dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan, karena: (a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air, serta (b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidakmandirian penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain itu, saat ini di Indonesia sendiri kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan nun pertanian, khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan aktivitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi. Selain itu, terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.

2.      Kaitan ketahanan pangan dengan ketahanan nasional?
Ketahanan pangan itu secara sederhana sama dengan ketersediaan pangan bagi rakyat dengan harga terjangkau. Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan stok atau logistik yang sudah sejak lama dilakukan oleh tentara. Belakangan model tersebut dikembangkan untuk seluruh masyarakat melalui Badan Urusan Logistik (Bulog). Harga pangan yang terjangkau dapat diartikan bahwa sebagian besar masyarakat mampu untuk membeli bahan pangan yang tersedia.
Ketahanan pangan itu juga erat kaitannya dengan kemakmuran petani sebagai produsen pangan. Jika petani tidak makmur, maka ketahanan pangan tidak kuat.  Hal tersebut dapat memicu konflik sosial yang mengganggu ketahanan nasional. Ketahanan pangan pun sangat terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Tiap orang yang tidak sejahtera sangat mudah terlibat dalam konflik yang berdampak pada ketahanan nasional. Karena itu kaitan ketahanan pangan dan ketahanan nasional sangat kuat dan mengait juga dengan soal-soal di luar pangan, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa harus memiliki ketahanan pangan yang kuat. Ketahanan pangan bagi Indonesia tidak cukup hanya tersedia dan harganya terjangkau melainkan juga harus tersebar merata hingga ke pelosok negeri. Apalagi negara kita terdiri dari pulau-pulau sehingga transportasi bahan pangan ini harus menjadi perhatian khusus.

3.      Dampak lemahnya ketahanan pangan terhadap pertahanan dan keamanan nasional.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003. (Ali Khomsan. 2003)
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah. Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah di berbagai Negara. Permasalahan diatas adalah ciri sebuah Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan.
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di dunia. Pada tahun 1930, penduduk dunia hanya 2 miliar dan 30 tahun kemudian pada tahun 1960 baru mencapai 3 miliar. Lonjakan penduduk dunia mencapai peningkatan yang tinggi setelah tahun 1960, hal ini dapat kita lihat dari jumlah penduduk tahun 2000an yang mencapai kurang lebih 6 miliar orang, tentu saja dengan pertumbuhan penduduk ini akan mengakibatkan berbagai permasalahan diantaranya kerawanan pangan. Di Indonesia sendiri, permasalahan pangan tidak dapat kita hindari, walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk. Bahkan dua peneliti AS pernah menyampaikan bahwa pada tahun 2100, penduduk dunia akan mengahadapi krisis pangan. Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya permasalahan yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.
Permasalahan yang menghambat dalam mencapai ketahanan pangan dan menjauhkan Indonesia dari keadaan rawan pangan adalah konversi lahan pertanian menjadi daerah industri. Dengan semakin sempitnya lahan pertanian ini, maka sulit untuk mengharapkan petani kita berproduksi secara optimum. Diperkirakan bahwa konversi lahan pertanian ke nun pertanian di Indonesia akan semakin meningkat dengan rata-rata 30.000-50.000 ha per tahun, yang diperkirakan jumlah petani kecil telah mencapai sekitar 12 juta orang.

4.      Upaya kita meningkatkan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan selalu kita lihat dari aspek supply dan demand. Barangkali sekarang ini sudah sangat sulit sekali bagi kita untuk mengintervensi aspek supply. Karena itu supply side intervention harus disertai demand side intervention. Apapun yang kita lakukan pada supply side intervention itu akan gagal, sebab tidak mungkin kita bisa mengejar laju permintaan dengan semata-mata mengutak-atik sisi suplai. Sisi suplai yang dapat kita lakukan hanya ekstensifikasi dan intensifikasi. Upaya ekstensifikasi atau perluasan areal sawah membutuhkan waktu yang lama dan sumber daya sangat besar. Sementara intensifikasi adalah upaya kita menaikkan produktivitas dengan memasukkan teknologi pada on-farm.
Peningkatan produktivitas sebenarnya dapat juga dilakukan pada off-farm agribusiness, baik di hulu, hilir, dan jasa penunjangnya. Contohnya, industri hulu seperti pabrik pupuk berkembang pesat tapi hanya memproduksi pupuk urea, sedangkan pupuk lainnya impor. Demikian juga industri hilir atau industri pengolahan kita sangat ketinggalan, sehingga terjadi banyak kehilangan hasil selama pengolahan. Tidak beda juga dengan jasa penunjang agribisnis seperti infrastruktur jalan produksi dan irigasi kualitasnya terus menurun.
Upaya peningkatan produktivitas pada off-farm harus menjadi perhatian tapi itu bukan menjadi kewenangan Kementerian Pertanian (Kementan). Jadi urusan pangan ini tidak semata-mata urusan Kementan, melainkan juga urusan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Oleh sebab itu, bujet Kementan tidak perlu terlalu besar karena itu adalah bujet “di” pertanian, sedangkan kita butuh bujet “untuk” pertanian. Bujet “untuk” pertanian tidak hanya di Kementan tapi bisa berada di Kementerian PU, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Pemda, tapi harus benar-benar digunakan untuk pembangunan ketahanan pangan.


5.      Bagaimana langkah-langkah mewujudkan ketahanan pangan.
Pertama, turunkan konsumsi beras. Jika selama ini pendekatan kita untuk ketahanan pangan melalui supply side intervention harus diubah menjadi demand side intervention, intervensi dari sisi permintaan. Turunkan konsumsi beras dari 139 kg/kapita/tahun menjadi 100 kg, berarti sudah menurunkan 30% konsumsi, sedangkan kita tidak pernah mengimpor lebih dari 5%. Selama upaya penurunan konsumsi belum berhasil, bisa saja kekurangan bahan pangan, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, kita impor. Tapi kita juga harus menggalakkan ekspor sawit, karet, kakao, kopi, dan lainnya dengan nilai yang lebih besar.
Kedua, tingkatkan skala usaha petani. Kebijakan dan program yang dibuat untuk jangka panjang harus bisa membuat petani mengembangkan usahanya sehingga mencapai skala ekonomis, layak untuk penerapan teknologi, serta dapat mengakses pasar lokal dan mancanegara.
Dan ketiga, bentuk organisasi yang kuat dan efektif. Urusan pangan ini perlu diurusi oleh Menteri Koordinator Urusan Pangan dan Agribisnis. Menko ini mengurusi koordinasi kebijakan dan program mulai dari up-stream, on-farm, down-stream, dan services agribusiness. Cikal bakalnya sudah dibuat masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Ketua DKP adalah Presiden dan Ketua Harian DKP pada saat itu adalah Menteri Pertanian.









BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Konsepsi ketahanan ekonomi nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh yang berlandaskan Pancasila, UUD 45 dan Wawasan Nusantara. Termasuk di dalam hal memajukan pertahanan keamanan yang didukung dari adanya upaya untuk memajukan pertahanan pangan.
Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, selain itu pada saat ini di Indonesia sendiri banyak mengalami  Kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003), Di Indonesia sendiri, permasalahan pangan tidak dapat kita hindari, walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk. Ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini.
Peran Pemerintah Dalam Upaya Memajukan Pertahanan Pangan dilakukan dengan berbagai cara seperti memperkuat struktur ekonomi masyarakat berbasis agribisnis dan meningkatkan peranan serta swadaya masyarakat lokal, membuat kebijakan yang dapat memperkuat pertahanan pangan, pengembangan inovasi teknologi seperti pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Diversifikasi Produksi Pangan, Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi terhadap komoditas lokal, Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan lumbung pangan untuk menabung hasil panen mereka, Perlindungan lahan pertanian pangan dan Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

B.     Saran
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan.  Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan.  Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan.









DAFTAR PUSTAKA
1.      Pambudy, Ninuk Mardiana (2002b), "World Food Summit: "Five Years Later". Menghapus Kemiskinan adalah Melawan Ketidakadilan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2.      Sumodiningrat, Gunawan (2000), Pembangunan Ekonomi Melalui Pembangunan Pertanian, Jakarta: PT Bina Rena
3.      Suryana, A., Sudi Mardianto, dan Mohamad Ikhsan (2001), "Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional: Sebuah Pengantar", Bunga Rampai Ekonomi Beras, Jakarta: LPEM –FEUI
4.      Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2008), Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
5.      Barichello, Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia.  University of British Columbia.  Berlin
6.      Muhilal, Fasli Jalal dan Hardinsyah,  1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.  Jakarta.
7.      Ali Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
8.      Baliwati, F, Y, 2004. Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta: Penebar Swadaya
9.      http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=9

10.  http://ilhami08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/diversifikasi-pangan-dan-penyuluhan-pertanian-sebagai-upaya-mewujudkan-ketahanan-nasional/
Comments
0 Comments

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲