NAMA
KELOMPOK :
1.
Riski Amalia (7101412007)
2.
Bangkit Candra
Birama (7101412008)
3.
Ziyan Tiffany (7101412019)
4.
Niswah Lutfiyani
(7101412023)
5.
Hendi Apriyanto (7101412024)
6.
Ragil Waseza (7101412029)
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mempertahankan
keamanan merupakan pra syarat utama bagi semua negara baik negara yang
berkembang maupun negara maju agar keamanan dalam negerinya dapat diciptakan
serta membantu dalam menjaga keamanan dunia internasional. Semua itu difokuskan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan. Tidak
hanya untuk pertahanan, tetapi juga untuk menghadapi dan mengatasi tantangan,
ancaman dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pembangunan pertahanan dan keamanan nasional
secara keseluruhan harus dikaitkan dengan pembangunan dalam bidang
kesejahteraan sedemikian rupa sehingga merupakan bagian dari pembangunan
nasional.
Pangan
merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan
karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak asasi
yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan
pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama
kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks
dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Ketahanan pangan merupakan bagian
dari ketahanan ekonomi nasional yang berdampak besar pada seluruh warga negara
yang ada dalam Indonesia. Pertahanan pangan merupakan salah satu hal yang
mendukung dalam mempertahankan keamanan, bukan hanya sebagai komoditi yang
memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi
sosial dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahanan pangan
dapat mempunyai pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat
diciptakan.
Keberhasilan
pembangunan di sektor pertanian di suatu negara harus tercerminkan oleh
kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanan
pangan. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat
penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah
ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa
yang akan terjadi terhadap kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau
stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan
atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan
sebagai alat politik bagi seorang (calon) presiden untuk mendapatkan dukungan
dari rakyatnya. Ketahanan pangan bertambah penting lagi terutama karena saat
ini Indonesia merupakan salah satu anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan
produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak
lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain,
apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat
Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengancam
ketahanan pangan di dalam negeri.
Walaupun
pada prinsipnya ketahanan pangan tidak harus berarti swasembada pangan; impor
yang terjamin juga menentukan ketahanan pangan. Namun demikian, idealnya,
ketahanan pangan didukung sepenuhnya oleh kemampuan sendiri dalam memproduksi
pangan yang dibutuhkan oleh pasar domestik. Karena risiko terlalu tergantung
pada impor adalah apabila harga impor meningkat sehingga mengakibatkan inflasi
di dalam negeri atau negara pengekspor menghentikan ekspornya karena alasan
politik atau lainnya.
Konsep
ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU)
No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa
"Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT)
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan
menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara
pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses
setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk
keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan
nilai atau budaya setempat.
Konsep
ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17 tersebut memberi
penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang cukup, bermutu, dan
harganya terjangkau, meskipun kata-kata RT belum berarti menjamin setiap
individu di dalam RT mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam
RT ada relasi kuasa (Pambudy, 2002a). Implikasi kebijakan dari konsep ini
adalah bahwa pemerintah, di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan
dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan, di pihak
lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan
rendah.
Hingga
awal tahun 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia
selalu optimis mengenai ketersediaan pangan.
Bahkan waktu itu, FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun ke depan,
peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk
dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di
negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan
membaik. Prediksi ini didasarkan pada data historis selama dekade 80-an hingga
90-an yang menunjukkan peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun
mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun.
Memang, untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan diperkirakan
akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih lebih tinggi
jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2%
per tahun. Untuk periode 2015-2030 laju pertumbuhan produksi pangan
diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun tetapi juga masih
lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Juga
FAO memprediksi waktu itu bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat
sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun
2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030.
Namun,
dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu
penting, dan banyak kalangan yakin bahwa
dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan
penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara, di sisi lain,
lahan yang tersedia untuk kegiatan kegiatan pertanian terbatas, atau laju
pertumbuhannya semakin kecil, atau bahkan secara absolut cenderung semakin
sempit. Pandangan ini persis seperti teori Malthus yang memprediksi suatu saat
dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi/stok.
B. Rumusan
Masalah
1) Bagaimanankah
kondisi ketahahan pangan di Indonesia saat ini?
2) Apa
kaitan ketahanan pangan dengan ketahanan nasional?
3) Bagaimana
dampak lemahnya ketahanan pangan terhadap pertahanan dan keamanan nasional?
4) Bagaimana
upaya kita meningkatkan ketahanan pangan?
5) Bagaimana
langkah-langkah mewujudkan ketahanan pangan?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Kondisi
Ketahanan Pangan di Indonesia
Program
ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program
Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program
Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada usaha yang cukup berperan
dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di Indonesia. Indonesia sempat
dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan
bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an,
Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang
patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank,1990).
Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
Kondisi
saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan
mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi
bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya
stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih
ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi
pangan, belum efisiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang
diterima petani, masih ketergantungan terhadap impor pangan.
Padahal
ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi,
akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik
nasional maupun global. Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan
ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan
pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat
merupakan dampak dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi,
peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu,
pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan,
karena: (a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air, serta
(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian.
Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi
nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan
kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidakmandirian penyediaan pangan nasional.
Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari
produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain
itu, saat ini di Indonesia sendiri kendala dan tantangan yang dihadapi dalam
mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: Berlanjutnya konversi
lahan pertanian untuk kegiatan nun pertanian, khususnya pada lahan pertanian
kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian,
sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif
rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah
semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk
meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air
secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan aktivitas perekonomian dan
pemukiman yang terkonsentrasi. Selain itu, terbatasnya kemampuan kelembagaan
produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada
sarana produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi
pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan
iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen
agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi
pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.
2. Kaitan
ketahanan pangan dengan ketahanan nasional?
Ketahanan pangan
itu secara sederhana sama dengan ketersediaan pangan bagi rakyat dengan harga
terjangkau. Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan stok atau logistik
yang sudah sejak lama dilakukan oleh tentara. Belakangan model tersebut
dikembangkan untuk seluruh masyarakat melalui Badan Urusan Logistik (Bulog).
Harga pangan yang terjangkau dapat diartikan bahwa sebagian besar masyarakat
mampu untuk membeli bahan pangan yang tersedia.
Ketahanan pangan
itu juga erat kaitannya dengan kemakmuran petani sebagai produsen pangan. Jika
petani tidak makmur, maka ketahanan pangan tidak kuat. Hal tersebut dapat memicu konflik sosial yang
mengganggu ketahanan nasional. Ketahanan pangan pun sangat terkait dengan kesejahteraan
masyarakat. Tiap orang yang tidak sejahtera sangat mudah terlibat dalam konflik
yang berdampak pada ketahanan nasional. Karena itu kaitan ketahanan pangan dan
ketahanan nasional sangat kuat dan mengait juga dengan soal-soal di luar
pangan, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Indonesia
sebagai negara besar dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa harus
memiliki ketahanan pangan yang kuat. Ketahanan pangan bagi Indonesia tidak
cukup hanya tersedia dan harganya terjangkau melainkan juga harus tersebar
merata hingga ke pelosok negeri. Apalagi negara kita terdiri dari pulau-pulau
sehingga transportasi bahan pangan ini harus menjadi perhatian khusus.
3. Dampak
lemahnya ketahanan pangan terhadap pertahanan dan keamanan nasional.
Ketahanan
pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin
pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi
kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi
mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar
seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang
cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem
konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional
memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalannya.
Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara
lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari
rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi
<70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta
dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih
cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003. (Ali Khomsan. 2003)
Menurut
Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan
prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila
melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan
nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman
antar daerah. Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi peringatan bahwa
jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan
persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan
sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang
meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah di berbagai Negara.
Permasalahan diatas adalah ciri sebuah Negara yang belum mandiri dalam hal
ketahanan pangan.
Kebutuhan
pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di
dunia. Pada tahun 1930, penduduk dunia hanya 2 miliar dan 30 tahun kemudian
pada tahun 1960 baru mencapai 3 miliar. Lonjakan penduduk dunia mencapai
peningkatan yang tinggi setelah tahun 1960, hal ini dapat kita lihat dari
jumlah penduduk tahun 2000an yang mencapai kurang lebih 6 miliar orang, tentu
saja dengan pertumbuhan penduduk ini akan mengakibatkan berbagai permasalahan diantaranya
kerawanan pangan. Di Indonesia sendiri, permasalahan pangan tidak dapat kita
hindari, walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian
besar penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan
yang melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk. Bahkan
dua peneliti AS pernah menyampaikan bahwa pada tahun 2100, penduduk dunia akan
mengahadapi krisis pangan. Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi
satu-satunya permasalahan yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan
nasional. Berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan
lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa
Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.
Permasalahan
yang menghambat dalam mencapai ketahanan pangan dan menjauhkan Indonesia dari
keadaan rawan pangan adalah konversi lahan pertanian menjadi daerah industri. Dengan
semakin sempitnya lahan pertanian ini, maka sulit untuk mengharapkan petani
kita berproduksi secara optimum. Diperkirakan bahwa konversi lahan pertanian ke
nun pertanian di Indonesia akan semakin meningkat dengan rata-rata
30.000-50.000 ha per tahun, yang diperkirakan jumlah petani kecil telah
mencapai sekitar 12 juta orang.
4. Upaya
kita meningkatkan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan
selalu kita lihat dari aspek supply dan demand. Barangkali sekarang ini sudah
sangat sulit sekali bagi kita untuk mengintervensi aspek supply. Karena itu
supply side intervention harus disertai demand side intervention. Apapun yang
kita lakukan pada supply side intervention itu akan gagal, sebab tidak mungkin
kita bisa mengejar laju permintaan dengan semata-mata mengutak-atik sisi
suplai. Sisi suplai yang dapat kita lakukan hanya ekstensifikasi dan
intensifikasi. Upaya ekstensifikasi atau perluasan areal sawah membutuhkan
waktu yang lama dan sumber daya sangat besar. Sementara intensifikasi adalah
upaya kita menaikkan produktivitas dengan memasukkan teknologi pada on-farm.
Peningkatan
produktivitas sebenarnya dapat juga dilakukan pada off-farm agribusiness, baik
di hulu, hilir, dan jasa penunjangnya. Contohnya, industri hulu seperti pabrik
pupuk berkembang pesat tapi hanya memproduksi pupuk urea, sedangkan pupuk
lainnya impor. Demikian juga industri hilir atau industri pengolahan kita
sangat ketinggalan, sehingga terjadi banyak kehilangan hasil selama pengolahan.
Tidak beda juga dengan jasa penunjang agribisnis seperti infrastruktur jalan
produksi dan irigasi kualitasnya terus menurun.
Upaya
peningkatan produktivitas pada off-farm harus menjadi perhatian tapi itu bukan
menjadi kewenangan Kementerian Pertanian (Kementan). Jadi urusan pangan ini
tidak semata-mata urusan Kementan, melainkan juga urusan Kementerian Pekerjaan
Umum, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Oleh sebab itu,
bujet Kementan tidak perlu terlalu besar karena itu adalah bujet “di”
pertanian, sedangkan kita butuh bujet “untuk” pertanian. Bujet “untuk”
pertanian tidak hanya di Kementan tapi bisa berada di Kementerian PU,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Pemda, tapi harus
benar-benar digunakan untuk pembangunan ketahanan pangan.
5. Bagaimana
langkah-langkah mewujudkan ketahanan pangan.
Pertama,
turunkan konsumsi beras. Jika selama ini pendekatan kita untuk ketahanan pangan
melalui supply side intervention harus diubah menjadi demand side intervention,
intervensi dari sisi permintaan. Turunkan konsumsi beras dari 139
kg/kapita/tahun menjadi 100 kg, berarti sudah menurunkan 30% konsumsi,
sedangkan kita tidak pernah mengimpor lebih dari 5%. Selama upaya penurunan
konsumsi belum berhasil, bisa saja kekurangan bahan pangan, seperti beras,
jagung, kedelai, dan gula, kita impor. Tapi kita juga harus menggalakkan ekspor
sawit, karet, kakao, kopi, dan lainnya dengan nilai yang lebih besar.
Kedua, tingkatkan
skala usaha petani. Kebijakan dan program yang dibuat untuk jangka panjang
harus bisa membuat petani mengembangkan usahanya sehingga mencapai skala
ekonomis, layak untuk penerapan teknologi, serta dapat mengakses pasar lokal
dan mancanegara.
Dan ketiga,
bentuk organisasi yang kuat dan efektif. Urusan pangan ini perlu diurusi oleh
Menteri Koordinator Urusan Pangan dan Agribisnis. Menko ini mengurusi
koordinasi kebijakan dan program mulai dari up-stream, on-farm, down-stream,
dan services agribusiness. Cikal bakalnya sudah dibuat masa pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Ketua DKP
adalah Presiden dan Ketua Harian DKP pada saat itu adalah Menteri Pertanian.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Konsepsi
ketahanan ekonomi nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan
nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang
seimbang, serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh yang
berlandaskan Pancasila, UUD 45 dan Wawasan Nusantara. Termasuk di dalam hal
memajukan pertahanan keamanan yang didukung dari adanya upaya untuk memajukan
pertahanan pangan.
Program
ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program
Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program
Swasembada Pangan. Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih
merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di
Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan
masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, selain itu pada saat ini di
Indonesia sendiri banyak mengalami
Kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan
nasional.
Situasi
ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain
oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari
rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi
<70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta
dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih
cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali
Khomsan, 2003), Di Indonesia sendiri, permasalahan pangan tidak dapat kita
hindari, walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian
besar penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan
yang melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk. Ketahanan
pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai
kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini.
Peran
Pemerintah Dalam Upaya Memajukan Pertahanan Pangan dilakukan dengan berbagai
cara seperti memperkuat struktur ekonomi masyarakat berbasis agribisnis dan
meningkatkan peranan serta swadaya masyarakat lokal, membuat kebijakan yang
dapat memperkuat pertahanan pangan, pengembangan inovasi teknologi seperti
pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Diversifikasi Produksi Pangan,
Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi terhadap komoditas
lokal, Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan lumbung pangan
untuk menabung hasil panen mereka, Perlindungan lahan pertanian pangan dan
Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
B. Saran
Ketahanan
pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan
nasional yang berkelanjutan. Ketahanan
pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan,
distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan
alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan
pada terwujudnya ketahanan pangan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Pambudy,
Ninuk Mardiana (2002b), "World Food Summit: "Five Years Later".
Menghapus Kemiskinan adalah Melawan Ketidakadilan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
2. Sumodiningrat,
Gunawan (2000), Pembangunan Ekonomi Melalui Pembangunan Pertanian, Jakarta: PT
Bina Rena
3.
Suryana, A.,
Sudi Mardianto, dan Mohamad Ikhsan (2001), "Dinamika Kebijakan Perberasan
Nasional: Sebuah Pengantar", Bunga Rampai Ekonomi Beras, Jakarta: LPEM –FEUI
4.
Tambunan, Tulus
Tahi Hamonangan (2008), Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada
5.
Barichello,
Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. University of British Columbia. Berlin
6.
Muhilal, Fasli
Jalal dan Hardinsyah, 1998. Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.
7.
Ali Khomsan.
2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
8.
Baliwati, F, Y,
2004. Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta: Penebar Swadaya
9.
http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=9
10. http://ilhami08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/diversifikasi-pangan-dan-penyuluhan-pertanian-sebagai-upaya-mewujudkan-ketahanan-nasional/