Daerah otonom
Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut.
Menurut jenisnya,
daerah otonom dapat berupa otonomi teritorial, otonomi kebudayaan, dan
otonomi lokal.
Apa hubungan
antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah
sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank
Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas
apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap
kesejahteraan?
Sebelum kita
meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi
daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan
kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola
masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat
Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan
implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal
maupun horizontal.
Dalam paparan
singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
pada faktanya telah menimbulkan empat problem.
Empat Problem
Otonomi Daerah:
Pertama, pudarnya
negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para
pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian?
Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan
walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat
mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan
pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan
partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang
negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para
pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan
kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya
jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan
bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya
lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan
politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali
yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang
berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat
ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh
pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan
program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang
sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari
terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari
departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak
mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai
contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan
ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin
kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di
Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan
perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat
bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan
tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan
perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan
perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang
lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan
melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan
butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan
para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas
partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa
di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini
semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal
asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di
dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan
Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa
dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang
“mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana
sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi
puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat
bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat,
terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi
daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini
adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando
pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun
juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam
hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan
korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa
dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran
korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan
korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan
per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia
mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5
juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di
Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya,
lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan
kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan
semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat
problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi
daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi,
harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya,
sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu
kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
Solusi Syariah
Selain konsep
otonomi daerah, alternatif solusi lain yang dalam dekade terakhir mulai menjadi
bahasan banyak pihak untuk memperbaiki kesejahteraan negeri ini adalah konsep
ekonomi syariah. Hanya saja, sebenarnya kita perlu membahasnya secara lebih
makro, yaitu solusi syariah secara makro untuk negara. Selain terasa janggal
jika rakyat Indonesia yang mayoritas muslim tidak pernah mencoba membahas
tentang solusi syariah, solusi syariah sendiri secara paradikmatik-empirik
mempunyai beberapa kekuatan. Solusi syariah secara makro juga mempunyai
pandangan khas tentang desentralisasi. Terdapat beberapa hal yang menjadi
kebijakan negara berdasar solusi syariah.
1. Sentralisasi
Politik
Selama ini orang
umumnya trauma jika berbicara tentang sentralisasi. Semua itu bisa dipahami
jika mengingat sentralisasi di jaman Soeharto (Orde Baru). Namun sentralisasi
dalam syariah cukup berbeda dengan sentralisasi orde baru. Sentralisasi orde
baru cukup ekstrim. Pemerintah pusat bukan hanya merupakan atasan pemerintahan
di bawahnya. Tapi juga mempreteli kekuasaan di bawahnya dan mencengkeram dengan
sangat kuat berbagai bidang operasional daerah dengan berbagai departemennya.
Sentralisasi dalam syariah lebih menekankan agar negara berada dalam satu
kesatuan politik. Ini dilakukan dengan cara khalifah (kepala negara) mempunyai
akses komando atas pemerintahan di bawahnya, berhak mengangkatnya, dan berhak
memberhentikannya. Sedangkan kekuasaan yang langsung dipegang pemerintah pusat
itu sendiri lebih pada kekuasaan yang tidak bersifat operasional dan
administratif, seperti militer, kepolisian, luar negeri, ekonomi kebijakan, dan
keuangan.
Dalam pemerintahan
Islam biasa dikenal wali zakat dan wali sholat. Wali zakat adalah gubernur
keuangan dalam tiap-tiap provinsi, yang menjadi saluran input keuangan dari
daerah ke pusat. Sementara wali sholat adalah gubernur sebagaimana dalam
pengertian sekarang, yang memikirkan urusan rakyat dengan anggaran yang
dibutuhkan –- hanya saja dalam Islam anggaran meminta ke pusat sesuai
kebutuhannya. Ini berarti sektor input dan output keuangan berada dalam jalur
yang berbeda. Kondisi ini diharapkan akan menguntungkan daerah dalam beberapa
hal: komando pusat, anggaran yang jelas, lebih bersih dari politisasi dalam
amsalah operasional, dan lebih terjaga dari korupsi. Bagi negara secara
keseluruhan lebih utuh secara politik.
2. Kontrol Pemerintahan
yang Sehat
Gambaran
pemerintahan dengan strukur pohon di atas barangkali memunculkan kekhawatiran.
Yaitu: kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan kurangnya partisipasi publik
dan partisipasi daerah. Hal ini sebenarnya bisa dihindari dengan fakta bahwa
syariah lebih menekankan agar pemerintah pusat dikontrol, bukan dipreteli
kekuasaannya. Beberapa hal yang disiapkan syariah untuk menciptakan kondisi ini
adalah: 1) Larangan memberhentikan mahkamah mazhalim (pimpinan peradilan
negara) ketika sudah mendapat aduan tentang pemerintah; 2) Anggota majelis umat
(dewan perwalikan) dipilih langsung oleh rakyat; 3) Majelis Umat terdapat di
pusat, provinsi,dan daerah. Mereka merupakan lembaga kontrol dan masukan; 4)
Partai politik bebas berdiri sepanjang berdasarkan syariah Islam, tugasnya
bukan mencari kedudukan tapi mengontrol pemerintahan dan menyuarakan aspirasi
masyarakat. Jadi, berdasar syariah pemerintah pusat “dipaksa kuat, tapi juga
dijaga supaya waras”. Kondisi ini juga lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat
untuk “mempunyai pemerintahan yang baik”, bukannya “ingin memerintah sendiri”.
3. Desentralisasi
Administrasi
Sungguhpun berlaku
sentralisasi politik, tapi administrasi terdesentralisasi. Berbagai bidang
operasional seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kebutuhan publik
menjadi tanggung jawab daerah. Dengan melihat fakta bahwa daerah tidak menjadi
jalur input keuangan tapi jalur output pelayanan, maka rakyat akan merasakan
manfaat desentralisasi. Desentralisasi tidak akan dirasakan sebagai “naiknya
karcis parkir” dan “melambungnya pajak” seperti saat ini. Desentralisasi akan
dirasakan sebagai kecepatan dalam pelayanan.
4. Orientasi
Pemerataan
Berbeda dengan
sistem ekonomi yang ada sekarang yang menganggap masalah ekonomi adalah
kelangkaan, penanganan kelangkaan butuh produksi, pelaksanaan produksi butuh
korporasi, kelancaran korporasi butuh peran pemerintah sebagai fasilitator
korporasi; sistem ekonomi Islam mempunyai filosofi berbeda. Sistem ekonomi
Islam berdasarkan filosofi tersendiri, yaitu masalah ekonomi adalah kurangnya
distribusi, pelaksanaan distribusi butuh peran negara, peran negara butuh
kebijakan yang adil, kebijakan yang adil butuh rujukan syariah. Kenyataannya,
syariah memang sangat mengatur masalah distribusi: 1) Zakat untuk mengembalikan
fakir, miskin, dan gharim (penghutang) kembali ke titik nol; 2) Seluruh sumber
daya alam adalah milik umat dan dipakai untuk sesejahteraan umat sedangkan
negara sekedar pengelola; 3) Kebijakan agraria yang sangat melindungi petani,
seperti larangan menganggurkan tanah tiga tahun, penyitaan negara atas tanah
yang dianggurkan, serta kebolehan memagari tanah kosong.
Perspektif
Otonomi Daerah Menuju Indonesia Baru Yang Madani
Pembangunan daerah
sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak lepas dari prinsip
otonomi daerah, sebagai implementasi dari UU No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan
prinsip otonomi daerah tersebut, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
menyelenggarakan pemerintahan. Wewenang daerah dilaksanakan dalam rangka mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah sesuai aspirasi masyarakat.
Adapun hal yang
sangat fundamental yang tersirat di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut adalah
upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif
serta peningkatan peran dan fungsi DPRD pada setiap tingkatan. Di dalam
otonomi, pemerintah daerah berkewajiban membangun interaksi atau kompabilitas
di antara komponen-komponen publik, private dan community daripada hanya
menfokuskan kepada otoritas.
Kendatipun
demikian, banyak orang beranggapan bahwa perspektif tersebut masih jauh dalam
realitasnya, otonomi daerah masih lebih dirasakan sebagai harapan ketimbang
kenyataan yang telah terjadi. Anggapan ini cukup beralasan mengingat, sudah
tiga tahun otonomi daerah diimplementasikan, namun dalam pelaksanaannya, penuh
disesaki dengan tuduhan-tuduhan pemerintah pusat terhadap daerah. Daerah
dituduh tidak "becus" menjalankan otonomi daerah sehingga otonomi
menjadi kebablasan, atau otonomi daerah memunculkan "raja-raja
kecil". Nayaris seluruh energi pemerintah daerah tertuju pada melawan
tuduhan pemerintah pusat yang juga tidak kalah sengitnya.
Melihat kenyataan
seperti ini, maka tidak heran jika ada orang yang mengatakan bahwa otonomi
daerah sebenarnya belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk yang terdiri dari tidak kurang 300
kelompok etnis suku dengan berbagai identitas kulturalnya yang tersebar luas di
berbagai pelosok daerah. Sementara itu, kesenjangan antara daerah juga mewarnai
kehidupan bangsa ini. Dari daerah yang kaya raya, yang memiliki sumber daya
melimpah, sampai daerah yang miskin yang sama sekali tidak memiliki sumber daya
alam. Sedangkan kompenen masyarakat yang hidup di dalamnya juga memiliki keanekaragaman.
Fenomena tersebut
merupakan gambaran dari pluralistiknya bangsa Indonesia, Oleh karenanya adalah
suatu anugerah yang tiada terkira jikalau kemajemukan yang begitu kompleks
dapat ditata dalam sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran, dalam sebuah tatanan masyarakat yang bernama
"masyarakat madani." Dalam sebuah tatanan masyarakat madani, rakyat
memiliki kedudukan yang emansipatoris terhadap negara (pemerintah). Kedudukan
yang emansipatoris ini memberikan peluang bagi rakyat untuk memberikan peran
yang sama sebagaimana peran yang dilakukan oleh negara. Di lain pihak,
kedudukan yang emansipatoris ini, rakyat juga memiliki peluang untuk berbeda
pendapat terhadap pemerintah.
Dalam perspektif
masyarakat madani, demokrasi mengandaikan adanya civil yang berkembang
sedemikian rupa sehingga punya otonomi dan independensi terhadap negara. Dalam
perspektif masyarakat madani, peran civil yang pada masa orde baru sebagian
besar dikuasai oleh negara, harus kembali diposisikan segingga memiliki peran
menjadi sederajat.
Kondisi masyarakat
seperti inilah yang diinginkan dan diperjuangkan oleh para pejuang reformasi.
Dalam perkembangannya , perspektif masyarakat madani menginginkan adanya
kesamaan dalam hal derajat, hak dan kewajiban, adanya kebebasan dalam
masyarakat yang pluralis baik ras, suku dan agama, adanya sikap dan moral yang
menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity), adanya kedaulatan rakyat
(populer sovereignity), dan adanya hukum yang dijunjung tinggi (rule of law).
Untuk mencapai kemandirian masyarakat dan kemandirian daerah dibutuhkan dasar
yang kuat di antaranya; kesadaran yang tinggi bahwa Indonesia adalah masyarakat
majemuk yang harus diakomodir kemajemukannya, kesadaran dari pemerintah pusat bahwa
formulasi dan implementasi demokrasi juga harus ditempatkan dalam kerangka
demokrasi di tingkat lokal, kesadaran dari pemerintah pusat dan daerah bawah
pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai melalui suatu tahapan.
Dengan demikian
pengimplementasian otonomi daerah merupakan tuntutan dari masyarakat yang
memiliki diversity (keragaman) untuk mewujudkan civi society dan
democratization. Otonomi tidak hanya sekedar penyerahan pelaksanaan urusan
tetapi lebih mendekati makna yang sesungguhnya ialah kewenangan pemerintah
untuk menerapkan lokal democrasy. Artinya, dengan melaksanakan otonomi daerah
maka pemerintah akan menjadi lebih demokratis.
Pelaksanaan
otonomi daerah akan membawa efektifitas dalam pemerintahan, sebab wilayah
negara Indonesia terdiri dari pelbagai satuan daerah yang masing-masing
memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor
geografi, adat istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan dan
sebagainya.
Suatu harapan kita
semua, bahwa otonomi daerah segera terwujud dan berjalan baik. Otonomi daerah
merupakan suatu tantangan dan kesempatan yang baik bagi penyelenggara
pemerintahan daerah dalam menampilkan kinerja pelayanan masyarakat.
Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah diharapkan lebih adil,
demokratis, memberdayakan masyarakat di segala aspek dan tingkatan.
(Penulis
adalah Alumni Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD"
Yogyakarta).